Lompat ke isi

Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/25

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Pk. 7.20 kami tiba di Sarolangun, dan setelah makan malam melanjutkan perjalanan. Sampai di pesanggrahan Bangko sudah pk. 11 malam.

Kamis, 11 Maret 1954

Kira-kira pk. 9.30 kami berangkat menuju Karang Brahi, 25 km dari Bangko. Dusun ini sendiri mula-mula kami lewati saja untuk terus pergi ke Pamenang (35 km dari Bangko), di mana kami tiba pk. 10.45 dengan kaki masih gemetar karena hampir tertimpa kecelakaan. Di suatu tikungan kami sekonyong-konyong berpapasan dengan bus yang tidak mau segera ke pinggir. Untuk menghindarkan tubrukan, supir kami membanting setir ke kiri masuk alang-alang. Tidak hanya menerobos alang-alang tetapi juga masuk parit, sehingga mobil kami miring sekali. Dengan ketangkasan dan kecepatan luar biasa Landrover dapat "diloncatkan" kembali ke tengah jalan. Kami selamat.

Dari Pamenang kami jalan kembali ke Karang Brahi. Pak Pasirah dan beberapa orang lain ikut mengantarkan kami, sedangkan Kepala Dusun Karang Brahi menjadi penunjuk jalan. Mobil kami tinggalkan di tepi jalan dan kami semua menyusup hutan karet yang lebat sekali dan di berbagai tempat sukar di lalui karena lumpur dan air, sepanjang kl. 2 km. Sampai di tepi sungai Merangin yang tebingnya curam dan licin, kami naik sampan yang telah tersedia.

Sampai di tempat prasasti Karang Brahi sudah pk. 12. Batunya terletak di depan mesjid dengan sisinya bertulisan menghadap ke atas. Oleh penduduk batu itu masih sangat dihargai dengan tidak dipuja. Dikatakan pada kami bahwa mereka berniat untuk menegakkannya kembali. Maka kami minta agar ditaruhnya nanti di tempat yang terlindung dari hujan dan panas, misalnya di bawah sengkup depan mesjid, hal mana disanggupi. Pertanyaan kami apakah benar batu itu dipakai untuk tempat cuci kaki sewaktu orang ambil air sembahyang, dijawab dengan tidak. Ada satu dua orang yang masih ingat bahwa dahulu memang begitu, tetapi sekarang sama sekali tidak.

Keluar Hutan Menurun ke Sungai . . . . ke Karang Berahi.

Adapun huruf-hurufnya, sebagian besar sudah sangat kabur, sehingga sulit sekali dibaca. Hanya di sana-sini dapat kami baca bagian-bagian kalimat yang sama bunyinya dengan prasasti Kota kapur (Bangka) dari th. 686 M. Lagipula batunya memperlihatkan retak-retak.

Segera kami membuat abklatsch. Dan karena takut tidak dapat kering hari itu sebab matahari tidak memberi cukup panas (sinarnya tertahan daun-daunan pohon dan atas mesjid), maka atas ide Sdr. Chaidir abklatsch itu kami "panggang" di bawah api. Di atas batunya ditaruh papan seng dan di sini dipasang api.

Sementara itu kami diantar pergi melihat tempat ditemukannya batu Karang Brahi itu, kira-kira 42 km dari dusun. Di sini tak ada lagi sesuatu apa yang sekiranya dapat menjadi petunjuk untuk penyelidikan lebih lanjut. Kira-kira pk. 3 abklatsch sudah kering, dan kami pulang menyeberang dan melalui jalan yang sukar tadi menyusup hutan. Sejam kemudian kami tiba di Pamenang. Di sini ada orang tua yang sengaja datang menemui kami untuk minta agar kami, bila saja, memerlukan datang di kampungnya, kira-kira 50 km dari Pamenang (sebagian besar jalan kaki). Di sana ia mempunyai piagam kuno dan berbagai buluh bertulisan, yang tak ada seorangpun dapat membacanya.

20