Lompat ke isi

Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/46

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sebagaimana mustinya dan layaknya. Mengingat arti pentingnya Rumah Bari ini, subsidi dari Pusat kami pandang sebagai keharusan. Maka subsidi itu kami janjikan akan kami pertimbangkan dan mintakan di Pusat (Jawatan Kebudayaan) setelah kami menerima keterangan lengkap mengenai pengeluaran dan penerimaan Rumah Bari itu. Untuk hubungan dan hal-hal selanjutnya akan kami urus lebih lanjut melalui Sdr. Saleh dari Perwakilan Jawatan Kebudayaan di Sumatra Selatan. Pun pelaksanaan dan syarat-syarat untuk subsidi itu harus dibicarakan.

Pada hemat kami, yang pertama-tama minta perhatian sepenuhnya ialah arca-arca dan fragmen-fragmen, yang kini diserahkan sama sekali kepada hujan panas dan sebagainya di halaman. Fragmen-fragmen terang dapat dimasukkan ke dalam, dan jika disusun berderet di lantai sepanjang baturan lantai yang tinggi, maka kecuali terlindung mereka dapat kiranya menghias interiornya pula.

Adapun arca-arca sulitlah untuk dimasukkan ke dalam rumah. Lagi pula halaman museum akan "gundul" sama sekali jika tak ada sesuatunya di situ. Maka untuk sementara tidak usahlah di pindahkan. Hanya menjadi syarat mutlak bagi keselamatan arca-arca itu ialah pemeliharaan yang sebaik-baiknya. Arca Budha. langgam Amarawati yang berasal dari Bukit Siguntang itu misalnya, kini telah diliputi oleh lumut dan lapuk, sehingga rupanya seperti orang berpenyakit panu! Tak perlulah lagi penjelasan bahwa yang demikian itu sangat merugikan keindahannya.

Kekurangan yang penting sekali pula ialah bahwa di Rumah Bari tidak ada inventaris, pun tidak ada orangnya yang pengetahuannya dapat menjadi "pengganti inventaris". Demikianlah di halaman ada setumpukan batu-batu kuno yang tertimbun tak karuan. Tak ada orang yang dapat mengatakan batu-batu apakah itu, dan keterangan hanya terbatas kepada "memang dari dulu sudah begitu", Ketika kami bongkar batu-batu itu, ternyata bahwa di dalam timbunan itu ada tiga buah yang bertulisan:

  1. Jaya Siddhayâ (tra)
  2. Jaya Siddhayâ (tra) sarvasa (tva)
  3. Jaya siddhayâtra sarvasatva.

Menurut Schnitger (The Archaeology of Hindoo Sumatra, hal.1) dari Telaga Batu ada ditemukan kira-kira 30 buah batu "siddhayātra", tetapi kecuali 3 buah yang kami dapatkan kembali itu tak adalah bekas-bekasnya jua dari yang lain (di Telaga Batu sendiri tidak ada dan di museum pun tidak).

Sebuah batu bersurat lagi tak dapat kami temukan, ialah sebagian dari batu bersurat asal dari Bukit Siguntang, yang mungkin sekali berasal dari ± tahun 700 M. (lih. Prasasti Indonesia II No. 1a).

Mengenai isi museum sendiri dapat dikemukakan bahwa sebagian terbesar yang memenuhi lemari-lemari kaca (terutama dari zaman kesultanan dan lebih muda lagi), kini sudah tidak ada. Menurut keterangan, barang-barang itu telah diambil kembali oleh yang empunya. Di antara benda-benda kuno yang masih ada, yang semuanya terkumpul di atas meja dalam suatu bilik, ada beberapa yang penting sekali, misalnya kepala arca Buddha istimewa (dari perunggu), arca Bodhisattwa (?) dari perunggu pula, arca Buddha dari batu dan sebuah arca dari kayu yang belum kami kenal. Patung ini ditemukan di sungai Musi di dekat Kertapati, akan tetapi usianya sangat sukar ditentukan. Bila benda itu sebenarnya adalah patung, terdapatnya ini sangat penting sebab mungkin ada perhubungan dengan patung yang terdapat di Vietnam Selatan yang sekarang disimpan di Museum Saigon. Akan tetapi patung dari Sungai Musi ini hanya kira-kira 50 cm tingginya, yaitu jauh lebih kecil daripada patung kayu dari Vietnam dan terutama pada patung kayu Palembang itu, terdapat suatu lubang bersegi panjang di bagian bawah perutnya yang mungkin sekali digunakan untuk merekatkannya pada haluan perahu. Mungkin penyelidikan macam kayu patung ini dapat memberi sekedar penjelasan tentang asalnya.

Kemudian terdapat juga beberapa gambar-gambar yang digunting dari lembaran emas yang tipis sekali. Guntingan-guntingan ini besar sekali persamaannya dengan gambaran-gambaran emas yang telah terdapat di Claket (Malang) yang sekarang ada di Museum Jakarta (Lih. OV 1928 pl. 8 bagian bawah).

Ada pula sekumpulan kira-kira 20 kepeng Tionghoa dari beberapa zaman.

Niên-Hao (nama pemerintahan Kaisar Tionghoa) dan huruf lain yang disebut di atasnya (dengan mengabaikan beberapa biji yang terlalu rusak atau dobel) adalah sebagai berikut:

41