Lompat ke isi

Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/49

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

lebihnya terdapat banyak sekali batu-batu bata lama, tersebar di mana-mana. Ada pula kami temukan batu-batu bata yang masih berhubungan di dalam tanah, dan yang nampak benar sisa-sisa tembok.

Mengingat akan letaknya di atas tanah tua dan namanya yang sangat ganjil, pula makara-makara dan simbar yang didapatkan, maka sama sekali tidak mustahil bahwa keramat itu didirikan atas sisa-sisa kepurbakalaan yang lebih tua lagi. Penggalian yang seksama dan sistematis mungkin dapat memberi sesuatu hasil.

6. Muara Jambi

Sebagaimana telah diuraikan di atas (lokalisasi tempat kepurbakalaan) maka Muara Jambi letaknya, meskipun kini di tepi Batang Hari, dahulu di pantai. Nama melayu untuk sungai kecil yang mengalir di dekat dusun, memberikan dugaan-dugaan yang meluas. Pertama kita ingat akan Melayu dalam zaman Sriwijaya. Kedua akan ”Pamalayu” zaman Singhasari. ”Batu-batu catur” yang ada di dusun, yang lapik teratainya menunjukkan langgam Singhasari, sangat memberi kecondongan untuk menghubungkan Muara Jambi dengan Melayu itu. Lebih-lebih oleh karena letak dusun ini seakan-akan menjadi pangkalan untuk menuju ke pedalaman (arca Amoghapaça di Rambahan yang berasal dari zaman Kertanegara!).

Kesimpulan-kesimpulan yang agak memuaskan tentu saja barulah diperoleh dengan penyelidikan yang mendalam lagi meluas, dengan disertai penggalian-penggalian yang sistematis. Hasrat untuk melakukan penyelidikan penggalian di Muara Jambi lebih diperkuat, oleh karena nampak benar bahwa di sekitar Candi Tinggi terdapat banyak bukit kecil yang menunjukkan adanya sesuatu yang terpendam, sedangkan batu-batu bata terserak di mana-mana, kadang-kadang berkelompok atau masih berhubungan. Schnitger telah mencoba memberikan denah daerah sekitar candi itu (Hindoe audheden aan de Batang Hari), akan tetapi nyata benar bahwa penyelidikannya hanya dilakukan sekedar untuk mendapatkan kesan saja.

Pun lubang-lubang yang digalinya di Tinggi, Gumpung, dan Astano (juga di lain tempat) memberi kesan akan ”schatgraverij” belaka, tidak teratur, tidak seksama, dan juga tidak dipertanggungjawabkan (tanpa dokumentasi). Maka usaha Schnitger itu sungguh mengecewakan. Lebih berartilah bagi kami penyelidikan Adam (Oudheden te Jambi, dalam O.V. 1921) yang meskipun tidak lengkap, bermanfaat sekali untuk penyelidik-penyelidik kemudian.

7. Solok Sipin (Jambi)

Dari Solok ada ditemukan 4 makara yang besar sekali (lebih besar daripada makara candi yang terbesar!) di antaranya satu mempunyai angka-tahun 986 Ç, yaitu 1064 M. Pun didapatkan sebuah arca Buddha yang langgamnya sangat tua (Gupta? Lih, juga Bosch, Het Bronzen Boeddhabeld van Celebes’ Westkust, dalam T.B.G. LXXIII, 1933 hal. 500). Masih berdiri di dusun itu ialah sebuah stupa yang langgamnya juga sangat tua (menunjukkan ke Jawa Tengah). Semuanya ini memberi kepastian bahwa di Solok terdapat kepurbakalaan yang sangat penting, dan oleh karenanya sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut. Pun di dalam hutan, di mana menurut keterangan orang sana didapatkan stupa itu, kami jumpai banyak bukit kecil yang mengandung batu-batu lama. Bahkan ada pula batu-batu bata yang masih berhubungan.

Kepingan-Kepingan Piagam di Mandiangin

Memang menilik besarnya makara-makara yang berasal dari Solok itu, maka jika makara itu tadinya menghias suatu bangunan, bangunannya harus jauh lebih besar daripada Prambanan atau Borobudur!.

8. Piagam di Mandiangin (Sorolangun)

Sebagaimana telah dinyatakan dalam laporan harian, piagam ini telah patah-patah menjadi 8 keping, diantaranya satu telah hilang. Rekonstruksi piagam ini menunjukkan bahwa keping yang ke-5 yang hilang.

44