Lompat ke isi

Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/66

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

VII. MENINGGALKAN NEGERI

Tinggi melanjutlah 'kau betung,
takkan kudulang-dulang lagi.
Tinggal tercengunglah 'kau kampung,
tidakkan kuulang-ulang lagi.


Hari Sabtu pagi kelihatanlah sebuah kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Teluk Bayur. Kapal itulah yang ditumpang guru Kasim hendak balik ke Pontianak kembali. Sekalian penumpang di geladak sibuk menyusun barang-barangnya serta mengembangkan tikar bantal untuk mereka tidur. Ada pula yang mengangkat barang-barangnya dari suatu tempat ke tempat lain menurut sukanya masing-masing. Guru Kasim pun tidak pula ketinggalan. Setelah didapatnya suatu tempat yang agak sunyi dan lapang, maka ia pun segera pindah ke sana, karena tempat yang demikian itulah yang disukainya.

Setelah selesai ia mengatur barangnya, maka duduklah guru Kasim di atas kursi malas yang sengaja dibawanya untuk berlayar. Ketika itu kapal sudah mulai mengarungi lautan besar. Karena hari cerah, langit tidak berawan dan embun di lautan telah lama naik ke atas angkasa, penglihatan lepas ke mana-mana. Amat sedap pemandangan masa itu, sedang alun air yang biru jernih gemerlapan cahayanya kena sinar matahari. Tak jauh di tengah tampak ombak berkejar-kejaran, dahulu mendahului, lalu memecah di tepi pantai sebuah pulau.

Guru Kasim mengambil sebatang sigaret dari sakunya. Setelah dibakarnya, maka ia pun melepaskan pemandangannya ke Lautan Hindia yang amat luas itu. Baru dua kali ia mengirup rokoknya, maka terbayanglah Syahrul, anaknya yang tunggal itu di ruangan matanya. Guru yang malang dan kecewa itu terkenangkan anak buah hatinya. Ia duduk termenung, sedang matanya hampir tidak dikejapkannya memandang tepi langit di sebelah barat-daya. Tidak lama kemudian, ia menarik napas panjang, lalu berkata dalam hatinya, "Tahun mana musim bilakah aku akan bertemu dengan anakku yang seorang itu? Sungguh malang nasibmu, Syahrul! Baru tiga bulan engkau kematian ibu, sekarang ditinggalkan pula oleh ayahmu dengan tidak setahumu. Jika engkau telah berakal, niscaya takkan terderitakan olehmu kesedihan yang menimpa dirimu sekarang{[rh|68}}