Lompat ke isi

Halaman:Sultan Thaha Syaifuddin.pdf/16

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

oleh puteranya yang bergelar Sultan Muhamad Syah (1696 – 1740). Pada awal pemerintahan Sultan ini hubungan antara Kumpeni dengan Sultan agak genting. Kantor Kumpeni di Muara Kumpeh ditutup, akan tetapi pada tahun 1707 Sultan mengadakan hubungan lagi dengan Kumpeni.

Pada tahun 1740 Sultan Mahmud Syah wafat, ia digantikan oleh Puteranya Raden Julut (Sri Maharaja Batu) dengan gelar Sultan Istra lngalogo (1740 – 1770).

Sultan ini teringat perlakuan Belanda terhadap nenek dan ayahnya, karena itu ia berusaha mengusir Kompeni dari Jambi. Pada tahun 1742 kantor dan benteng Kumpeni di Muara Kampeh ditutup, Belanda meninggalkan tempat itu (2, p. 26).

Pada tahun 1770 Sultan Istra Ingalogo wafat dan digantikan Sultan Anom Seri Ingalogo (1770 – 1790). Masa pemerintahan Sultan Anom Ingalogo yang juga disebut Sultan, Achmad Zainuddin tidak hanyak diketahui. Sultan ini wafat pada tahun 1790 dan digantikan oleh puteranya, Mas'ud Badaruddin yang bergelar Sultan Ratu Seri Ingalogo (1790 – 1812).

Peristiwa penting yang terjadi pada pemerintahan Sultan ini ialah dibubarkannya VOC pada tahun 1799 dan penyerahan segala tanggung jawab VOC kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu terjadi serah terima tanggungjawab itu, Jambi tidak diduduki Belanda.

Pada tahun 1812 Sultan ini wafat dan digantikan oleh saudara mudanya, Raden Danting Sultan Muhamad Mahidin yang bergelar Sultan Agung Sri Ingalogo (1812 – 1833). Pada masa pemerintahan Sultan ini tahun 1819 Sultan Palembang melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Jambi mengirimkan tentara ke Palembang untuk membantu fihak Sultan (2, p. 26).

Pada tahun 1833 Sultan ini wafat, ia digantikan oleh puteranya Raden Muhamad yang bergelar Sultan Muhamad Fakhruddin (1833 – 1841). Sultan Muhamad Fakhruddin juga dikenal dengan sebutan Sultan Keramat, karena ia seorang yang saleh dan banyak usahanya dalam memajukan agama Islam di Jambi. Dalam masa pemerintahannya (akhir tahun 1833), Muara Kumpeh kembali diduduki Belanda, demikian juga di muara Sabak diadakan penjagaan yang kuat.

11