Lompat ke isi

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Penjelasan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA


I. UMUM

Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Penyusunan Hukum Pidana dalam bentuk kodifikasi dan unifikasi dimaksudkan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan kepentingan nasional, masyarakat, dan individu dalam negara Republik Indonesia berdasarkan atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila memperhatikan sejarah hukum pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (Staatsblad 1915: 732). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Wetboek van Strafrecht tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Straftrecht voor Indonesie disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II di mana untuk daerah-daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (Staatsblad 1915: 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1958 dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958. Undang-undang tersebut menentukan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yaitu "Wetboek van Strafrecht voor Indonesie", yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana.


BUKU KESATU


1. Pembaharuan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu Buku Kesatu memuat aturan umum dan Buku Kedua yang memuat aturan tentang tindak pidana. Adapun Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana.
Alasan penghapusan ini adalah bahwa pembedaan antara kejahatan sebagai "rechtsdelict" dan pelanggaran sebagai "wetsdelict" ternyata tidak dapat dipertahankan, karena ada beberapa "rechtsdelict" yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran (wetsdelict) dan sebaliknya ada pelanggaran yang kemudian dapat dijadikan kejahatan (rechtsdelict) hanya karena diperberat ancaman pidananya.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diakui pula adanya tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daeah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa "Kewajiban Adat" yang harus dipenuhi oleh pembuat tindak pidana. Ini memberi arti, bahwa nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
2. Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan, subyek hukum pidana tidak dapat dibatasi lagi hanya pada manusia alamiah (naturlijke person) tetapi mencakup pula manusia hukum (rechtsperson) yang lazim disebut korporasi, karena tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subyek hukum, berarti korporasi sebagai bentuk badan usaha harus mempertanggungjawabkan sendiri semua perbuatannya. Di samping itu, masih dimungkinkan pula pertanggungjawaban dipikul bersama oleh korporasi dan pengurus atau hanya pengurusnya saja.
3. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diatur mengenai jenis pidana yang berupa pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan.
Jenis pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, sebab dengan pelaksanaan kedua jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Demikian pula masyarakat dapat berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehidupan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Urutan jenis pidana pokok tersebut di atas menentukan berat ringannya pidana. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial merupakan cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif pidana penjara.
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jenis pidana mati adalah yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan.
4. Di samping jenis-jenis pidana tersebut di atas, Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur pula jenis-jenis tindakan. Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa atau retardasi mental.
Di samping itu dalam hal tertentu tindakan dapat pula diberikan kepada terpidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat.
5. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini dianut sistem pemidanaan baru yang berupa ancaman pidana minimum khusus. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan:
-   untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya;
-   untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
-   apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat.
Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.
6. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu.
Dasar pemikiran menggunakan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan situasi. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.
7. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana dan cara pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari segi fisik maupun psikis anak berbeda dengan orang dewasa. Selain itu, pengaturan mengenai jenis pidana dan pemidanaan secara khusus terhadap anak dikaitkan karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak.


BUKU KEDUA


1. Dalam Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini terdapat beberapa jenis tindak pidana baru yang disesuaikan dengan perkembangan serta kebutuhan hukum masyarakat, antara lain mengenai tindak pidana penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan (Contempt of Court), pencucian uang (money laundering), dan mengenai terorisme.
Mengenai penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan (Contempt of Court) tidak dikelompokkan dalam satu bab tersendiri, melainkan pengaturannya tersebar dalam bab yang berbeda, meskipun terdapat bab khusus yang merumuskan tindak pidana tersebut.
2. Seirama dengan lajunya pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul. Oleh karena itu, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini, pengaturannya dilakukan dalam undang-undang tersendiri.


II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada undang-undang. Dipergunakannya asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiIl). Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.


Pasal 2

Ayat (1)
Asas ketentuan pidana tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah mutlak. Namun apabila terdapat perubahan peraturan perundang-undangan pidana setelah seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka digunakan ketentuan yang lebih menguntungkan bagi pembuat baik sebagai tersangka atau terdakwa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan" adalah bahwa narapidana yang bersangkutan dibebaskan dari menjalani pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Dengan demikian, apabila narapidana sedang menjalani pidana, maka pelaksanaan sisa pidana ditiadakan, dan apabila pidana belum dijalani, maka pelaksanaannya gugur. Mengenai putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang berwenang menetapkan pembebasan adalah pejabat eksekutif.
Ketentuan mengenai pembebasan tersebut berlaku juga bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan. Pembebasan tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Pembebasan pidana tersebut tidak menimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti kerugian.
Ayat (3)
Mengingat putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang berwenang menetapkan penyesuaian pidana adalah pejabat eksekutif.
Pemberian keringanan pidana tidak menimbulkan hak bagi terpidana menuntut ganti kerugian.


Pasal 3

Huruf a
Ketentuan ini mengandung asas wilayah atau teritorial.
Huruf b
Ketentuan ini mengandung asas teritorial yang diperluas. Perluasan asas teritorial tidak hanya dimaksudkan untuk menjaring tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia, tetapi juga untuk menjaring tindak pidana di dunia maya (cyber crime) yang dilakukan di luar wilayah Indonesia tetapi akibatnya dirasakan atau terjadi di Indonesia. Asas ini berlaku bagi siapa saja, tanpa melihat kewarganegaraan pembuat.


Pasal 4

Ketentuan dalam pasal ini mengandung asas nasional pasif yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum negara atau kepentingan nasional yang berupa: (a) kepentingan/keselamatan warga negara di luar negeri; dan (b) kepentingan nasional tertentu di luar negeri.
Penentuan kepentingan nasional tertentu yang ingin dilindungi dalam pasal ini, menggunakan perumusan yang limitatif/enumeratif yang terbuka ("open"). Artinya, ruang lingkup kepentingan nasional yang akan dilindungi ditentukan secara limitatif, tetapi jenis tindak pidananya tidak ditentukan secara pasti (rigid). Jadi, tidak menggunakan sistem perumusan limitatif yang rigid. Penentuan jenis tindak pidana mana yang dipandang menyerang/membahayakan kepentingan nasional, diserahkan dalam praktek secara terbuka dalam batas-batas yang telah dijadikan tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia.
Perumusan limitatif yang tebuka ini dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas dalam praktek maupun fleksibilitas perkembangan formulasi delik oleh pembuat undang-undang di masa yang akan datang. Jadi fleksibilitas itu tetap dalam batas-batas kepastian menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penentuan delik mana yang menyerang kepentingan nasional, hanya terbatas pada perbuatan tertentu yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional yang penting untuk dilindungi. Pembuat hanya dituntut atas tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia.
Pembuat tindak pidana yang dikenakan ketentuan pasal ini adalah setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Alasan penerapan asas nasional pasif karena pada umumnya tindak pidana yang merugikan kepentingan hukum suatu negara, oleh negara tempat tindak pidana dilakukan (lokus delikti) tidak selalu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus dilarang dan diancam dengan pidana. Oleh karena itu dapat terjadi seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional Indonesia akan terhindar dari penuntutan, apabila perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini, maka untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia dirumuskan ketentuan dalam Pasal 5 ini.


Pasal 5

Asas universalitas adalah asas yang melindungi kepentingan hukum baik kepentingan hukum negara Indonesia maupun kepentingan hukum negara lain. Pelanggaran atas kepentingan hukum universal disebut tindak pidana internasional. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam konvensi internasional di mana suatu negara menjadi peserta
Indonesia telah menjadi peserta dari beberapa konvensi internasional, antara lain, Konvensi Internasional tentang Uang Palsu, Konvensi Internasional tentang Laut Bebas yang di dalamnya diatur tindak pidana pembajakan laut, Konvensi Internasional tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan, dan Konvensi Internasional tentang Lalu Lintas dan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Apabila di kemudian hari Indonesia ikut serta dalam konvensi internasional yang mengatur tentang tindak pidana internasional lainnya, maka penunjukan kepada pasal-pasal tindak pidana internasional akan bertambah.


Pasal 6

Sesuai dengan perkembangan dunia modern, beberapa negara telah mengadakan perjanjian yang memungkinkan warga negara dari negara yang ikut serta dalam perjanjian tersebut dapat diadili oleh masing-masing negara anggota karena melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya perjanjian antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara dari negara lain tersebut penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia karena melakukan tindak pidana tertentu yang diperjanjikan.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Dalam masyarakat suatu negara terdapat hukum yang mengatur tingkah laku para anggota masyarakat dalam rangka menegakkan ketenteraman dan ketertiban dalam negara itu. Hal yang sama berlaku pula dalam masyarakat internasional. Negara Indonesia merupakan anggota masyarakat internasional, oleh karena itu sudah selayaknya hukum Indonesia juga ikut serta menegakkan hukum internasional. Ini berarti bahwa ketentuan hukum nasional Indonesia yang bertentangan dengan hukum internasional yang diakui oleh Indonesia, maka hukum nasional Indonesia tidak diberlakukan. Dengan ikut sertanya Indonesia dalam konvensi-konvensi internasional, maka berarti berlakunya ketentuan pidana Indonesia sebagaimana disebut dalam ketentuan pasal ini dibatasi oleh hukum internasional.


Pasal 9

Yang dimaksud dengan "waktu tindak pidana" adalah saat dilakukannya tindak pidana. Dalam hal ini tidak dibedakan antara tindak pidana yang dirumuskan secara formal dan yang dirumuskan secara materiil.


Pasal 10

Yang dimaksud dengan "tempat tindak pidana" adalah tempat dilakukannya tindak pidana dan tempat terjadinya akibat yang ditentukan dalam perumusan undang-undang atau yang diperkirakan oleh pembuat tindak pidana. Jadi yang dipakai untuk menentukan tempat ialah teori perbuatan jasmani (de leer van de lichamelijke daad) dan teori akibat (de leer van het gevolg). Mengenai tempat terjadinya akibat, dibedakan antara tempat yang akibat itu sungguh-sungguh terjadi dan tempat yang diperkirakan akibat itu akan terjadi. Bagi tindak pidana yang dalam pelaksanaannya mempergunakan alat atau sarana, maka tempat tindak pidana adalah tempat alat atau sarana tersebut mulai bekerja.


Pasal 11

Hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad-dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan. Dengan demikian maka tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana memperoleh kontur yang jelas.
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana. Perbuatan yang dimaksudkan meliputi baik perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak melakukan perbuatan tertentu (pasif) yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan perbuatan tidak melakukan (pasif) termasuk perbuatan lalai (nalaten) dalam rangka mencegah terjadinya akibat yang merupakan unsur suatu tindak pidana. Pencegahan akibat dari tindak pidana pada dasarnya merupakan kewajiban menurut hukum, kecuali terdapat alasan yang meyakinkan dan diterima berdasarkan pertimbangan akal yang wajar. Melalaikan pencegahan di sini mempunyai nilai yang sama dengan melakukan suatu tindak pidana meskipun dalam perspektif yang berbeda.
Yang dimaksud dengan "perbuatan yang bertentangan dengan hukum" adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Oleh karena itu untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim selain harus menentukan apakah perbuatan yang dilakukan itu secara formil dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan apakah perbuatan tersebut secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Hal ini wajib dipertimbangkan dalam putusan .
Pembentuk undang-undang dalam menentukan perbuatan yang dapat dipidana, harus memperhatikan keselarasannya dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum. Pada umumnya setiap tindak pidana dipandang bertentangan dengan hukum, namun dalam keadaan khusus menurut kejadian-kejadian konkrit, tidak menutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Dalam hal demikian pembuat tindak pidana membuktikan bahwa perbuatannya tidak bertentangan dengan hukum.


Pasal 12

Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktek hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktek dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian-kejadian kongkrit. Apabila dalam penerapan dalam kejadian kongkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Ayat (1)
Permufakatan jahat (samenspanning, conspiracy) dapat dipidana meskipun perbuatan yang dilarang belum terlaksana, karena niat jahat dari dua orang atau lebih yang bermufakat untuk melakukan tindak pidana telah ada. Permufakatan jahat yang dapat dipidana dibatasi hanya pada beberapa tindak pidana yang sangat serius dan ditentukan secara tegas dalam rumusan tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 16

Ketentuan dalam Pasal ini tidak memberikan definisi tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana, pembuat tindak pidana telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana dan pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.
Permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan yang sudah sedemikian rupa berhubungan langsung dengan tindak pidana, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah dimulai. Perbuatan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan persiapan, karena jika perbuatan yang dilakukan masih merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika:
a. perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum;
b. secara obyektif, apa yang telah dilakukan sudah mendekati dengan tindak pidana yang dituju. Atau dengan kata lain, sudah mampu atau mengandung potensi mewujudkan tindak pidana tersebut; dan
c. secara subyektif, dilihat dari niat pembuat tindak pidana tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana.


Pasal 17

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur percobaan yang tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas kemauan pembuat tindak pidana. Namun apabila percobaan itu telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan suatu tindak pidana tersendiri, maka ia tetap dipidana.


Pasal 18

Cukup jelas


Pasal 19

Ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek tindak pidana yang dituju dapat terjadi secara relatif atau secara mutlak.
Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek secara relatif, percobaan itu telah membahayakan kepentingan hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana tidak terjadi. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek secara mutlak, tidak akan ada bahaya terhadap kepentingan hukum. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka yang dipergunakan adalah teori percobaan subjektif.


Pasal 20

Huruf a
Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Jika dilakukan oleh beberapa orang, maka tiap-tiap peserta dalam perbuatan itu mempunyai kedudukan yang mungkin berbeda-beda. Dalam ketentuan pasal ini ditentukan bentuk-bentuk dari penyertaan tersebut yaitu orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan tindak pidana, dipidana sebagai pembuat.
Menyuruh melakukan tindak pidana terjadi sebelum dilakukannya tindak pidana dan tidak dipersoalkan tentang cara menyuruh dan cara pembuat tindak pidana materiil melakukan tindak pidana. Dalam hal menyuruh melakukan, pembuat tindak pidana materiil tindak pidana tidak dipidana. Pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh dibatasi sampai pada perbuatan yang dilakukan oleh pembuat tindak pidana materiil.
Turut serta melakukan tindak pidana adalah mereka yang bersama-sama melakukan tindak pidana. Jadi mereka dengan sengaja ikut serta dan tidak perlu tiap-tiap peserta harus melakukan perbuatan pelaksanaan.
dilihat sebagai kesatuan. Dengan demikian hal yang utama adalah dalam pelaksanaan tindak pidana terdapat kerja sama Dalam menentukan turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta tidak dilihat secara terpisah, berdiri sendiri, dan terlepas dari perbuatan peserta lainnya, tetapi yang erat antarpara peserta.
Huruf b
Peserta yang dimaksud dalam ketentuan ini disebut sebagai penganjur. Pada dasarnya, penganjur melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain. Berbeda dengan perbuatan menyuruh di mana pembuat tindak pidana materiil tidak dipidana, maka dalam penganjuran pembuat tindak pidana materiil dapat dipidana.
Tidak setiap tindak pidana yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah penganjuran. Syarat-syarat untuk penganjuran disebutkan secara limitatif, yakni:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu;
b. menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;
c. menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan; atau
d. memberi kesempatan, sarana atau keterangan.
Yang dimaksud dengan "memberi atau menjanjikan sesuatu" adalah memberi atau menjanjikan sesuatu barang, uang, dan keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana.
Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan kekuasaan atau martabat" adalah baik kekuasaan yang berdasarkan hukum publik maupun hukum privat.
Yang dimaksud dengan "menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan" adalah dengan segala macam bentuk kekerasan, ancaman, atau penyesatan yang menimbulkan orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana. Apabila kekerasan atau ancaman sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan karena itu tidak dapat dipidana, maka dalam keadaan tersebut bukan merupakan penganjuran tetapi menyuruh melakukan.
Yang dimaksud dengan "memberi kesempatan, sarana atau keterangan" adalah termasuk upaya-upaya yang disyaratkan dalam pembantuan.


Pasal 21

Terdapat dua macam bentuk pembantuan yaitu pembantuan pada waktu melakukan tindak pidana dan pembantuan yang mendahului tindak pidana. Dalam pemberian bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan ikut serta melakukan. Dalam ikut serta melakukan terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang melakukan tindak pidana, namun dalam pembantuan kerja sama antara pembuat tindak pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta. Dalam turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta dilihat sebagai satu kesatuan.
Bentuk kedua pembantuan dilakukan mendahului pelaksanaan tindak pidana yang sebenarnya, baik dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan.


Pasal 22

Ketentuan dalam Pasal ini berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama, sedangkan di antara mereka terdapat orang yang belum cukup umur atau orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya, karena sakit ingatan, maka orang yang sudah dewasa atau tidak sakit jiwa, dijatuhi pidana sebagaimana biasa, sedangkan untuk yang belum cukup umur pidananya dikurangi dan untuk orang yang sakit ingatan tidak dapat dipidana.


Pasal 23

Cukup jelas.


Pasal 24

Ayat (1)
Beberapa tindak pidana hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam beberapa kejadian, mengingat kepentingan pribadi dari orang yang dikenai tindak pidana akan lebih besar dirugikan apabila perkara itu dituntut dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum bila tidak dilakukan penuntutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pada tindak pidana aduan mutlak, pengaduan tidak dapat dipisah-pisahkan, dalam arti walaupun disebutkan nama orang tertentu dalam pengaduan, penuntutan dilakukan atas semua peserta yang oleh pengadu tidak disebutkan. Dalam penuntutan tindak pidana aduan mutlak yang dipentingkan adalah menyebut tindak pidananya. Dalam pengaduan relatif pengaduan dapat dipecah, dalam arti penuntutan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang disebut dalam pengaduan dan tidak dapat dilakukan terhadap orang lain.


Pasal 25

Cukup jelas


Pasal 26

Cukup jelas


Pasal 27

Cukup jelas


Pasal 28

Cukup jelas


Pasal 29

Cukup jelas


Pasal 30

Ketentuan dalam Pasal ini merupakan ketentuan yang berkaitan dengan alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum tindak pidana. Dengan tidak adanya sifat melawan hukum, maka walaupun perbuatan yang dilakukan secara formal sesuai dengan rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana karena pembuat tindak pidana melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan asas bahwa untuk dapat dipidana, selain perbuatan yang dituduhkan adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perbuatan tersebut harus juga bertentangan dengan hukum.
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah semua peraturan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi wewenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan dalam batas wewenang yang diberikan kepadanya.


Pasal 31

Ketentuan dalam Pasal ini merupakan ketentuan yang berkaitan dengan alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum tindak pidana, karena melaksanakan perintah jabatan. Dalam hal ini, harus ada hubungan yang bersifat hukum publik antara yang memberikan perintah dan yang melaksanakannya. Ketentuan ini tidak berlaku untuk hubungan yang bersifat keperdataan.


Pasal 32

Secara teoritis ada yang berpendapat bahwa antara daya paksa dan keadaan darurat (keadaan di mana suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya dan untuk mengindarkan bahaya tersebut terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain) ada yang tumpang tindih dan dalam praktek sulit dibedakan dan dipisahkan.
Dalam menentukan adanya unsur keadaan darurat, unsur psikis bukan merupakan pertimbangan yang utama. Yang menjadi pertimbangan utama adalah bahwa dalam keadaan darurat pembuat tindak pidana telah mengambil sikap lebih mengutamakan melindungi kepentingan hukum. Dengan perkataan lain, pembuat tindak pidana tindak pidana lebih mengutamakan kewajiban sosial yang diharapkan daripadanya untuk dilakukan. Ini berarti, bahwa dalam menentukan apa yang dilakukan pembuat tindak pidana tindak pidana perlu diteliti apakah perbuatan tersebut wajar dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan sosial.
Jika hakim menyetujui atau menolak adanya alasan suatu keadaan darurat, maka penolakan atau persetujuan tersebut dinyatakan dalam putusan dengan menyertakan alasan yang jelas.


Pasal 33

Pembelaan terpaksa juga merupakan unsur alasan pembenar. Untuk menentukan pembelaan terpaksa diperlukan tiga keadaan, yaitu:
a. perbuatan yang dilakukan haruslah terpaksa sebagai suatu pembelaan yang perlu;
b. pembelaan hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan yang ditentukan secara limitatif yaitu kepentingan hukum diri sendiri atau orang lain baik yang menyangkut kehormatan, kesusilaan, atau harta benda; dan
c. harus ada serangan seketika atau segera yang bersifat melawan hukum.
Dalam hal pembuat tindak pidana tindak pidana melakukan pembelaan yang perlu, tetap harus ada keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dan serangan yang diterima. Jadi asas keseimbangan merupakan salah satu asas yang harus diperhatikan. Asas lainnya adalah asas subsidiaritas, artinya suatu kekerasan yang dipakai atau pembelaaan yang dilakukan pembuat tindak pidana haruslah terpaksa dilakukan.


Pasal 34

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.


Pasal 35

Ayat (1)
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Apakah pembuat tindak pidana yang telah melakukan perbuatan yang dilarang kemudian juga dijatuhi pidana, sangat tergantung pada persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pembuat tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, apakah pembuat tindak pidana mempunyai kesalahan.
Yang dimaksud dengan "kesalahan" adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu patut dicela. Apabila pembuat tindak pidana memang mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana, maka ia akan dijatuhi pidana. Tetapi apabila pembuat tindak pidana tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana, ia tidak akan dijatuhi pidana. Dengan demikian, asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan asas fundamental dalam pertanggungjawaban pembuat tindak pidana karena telah melakukan tindak pidana.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat (2). Oleh karena itu, tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas "strict liability".
Ayat (3)
Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggung jawab mutlak atau "vicarious liability ".


Pasal 36

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini menegaskan kembali prinsip yang dituangkan dalam Pasal 35 ayat (1), bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Secara doktriner, bentuk-bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan. Oleh karena itu, apabila bentuk-bentuk kesalahan, kesengajaan, atau kealpaan (dolus atau culpa) tidak ada, maka seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ayat (2)
Walaupun pada prinsipnya seseorang hanya dapat dipidana apabila ada kesalahan baik berupa kesengajaan atau kelalaian, namun ketentuan ini menegaskan bahwa yang terutama dapat dipidana ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan pemidanaan terhadap tindak pidana kealpaan (culpa) bersifat perkecualian. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan, bahwa setiap tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selalu dianggap harus dilakukan dengan sengaja apabila pembuat tindak pidananya akan dipertanggungjawabkan. Jadi pada dasarnya setiap delik adalah delik kesengajaan (dolus), walaupun unsur sengaja tidak dirumuskan secara eksplisit dalam perumusan tindak pidana. Tidak dirumuskannya sengaja dalam perumusan delik, karena sengaja pada dasarnya adalah unsur pertanggungjawaban pidana.
Penegasan bahwa perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mengandung arti bahwa "sengaja" merupakan syarat umum untuk adanya pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu apabila dalam hal-hal tertentu seseorang dipandang patut juga dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dilakukan karena kealpaan, maka kealpaan sebagai syarat khusus itu harus secara tegas dirumuskan juga dalam perumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk khusus dari kesengajaan (yang dalam perumusan teknis perundang-undangan biasanya digunakan dengan istilah "mengetahui", "yang diketahuinya", "padahal diketahuinya", atau "sedangkan ia mengetahui") dinyatakan pula sebagai dapat dipidana, maka berbagai istilah atau bentuk-bentuk khusus dari kesengajaan itu harus tetap dirumuskan sebagai syarat khusus dalam perumusan delik yang bersangkutan. Jadi ketentuan dalam ayat (2) ini dimaksudkan mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana formil (yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang) maupun delik materiil (yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang).
Ayat (3)
Ketentuan ini bermaksud mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap pembuat tindak pidana tindak pidana yang diperberat atau yang dikualifikasikan oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte). Secara doktriner, pertanggungjawaban terhadap orang yang melakukan tindak pidana ini didasarkan pada ajaran "erfolgshaftung" (ajaran "menanggung-akibat") yang tidak memerlukan adanya hubungan sikap batin tercela (kesalahan) antara pembuat tindak pidana dengan akibat yang timbul. Ajaran demikian dipandang bertentangan atau tidak sesuai dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35. Oleh karena asas kesalahan merupakan asas yang penting, maka dalam ketentuan ini ditegaskan, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap akibat-akibat tertentu yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, tetap diperlukan adanya "kesalahan" walaupun dalam bentuknya yang paling ringan, yaitu dapat berupa "kesengajaan dengan sadar kemungkinan" (doluseventualis) atau minimal harus ada kealpaan.


Pasal 37

Ketentuan dalam Pasal ini memuat asas culpa in causa yang merupakan salah satu asas, di samping asas "proporsionalitas" dan asas "subsidiaritas", dalam mempertimbangkan seberapa jauh suatu alasan penghapus pidana layak diterapkan untuk tidak mempertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Menurut asas culpa in causa, seseorang tidak patut berlindung pada alasan penghapus pidana dan tetap dapat dipertanggungjawabkan, apabila dia sendiri sebenarnya patut dicela atau dipersalahkan terhadap timbulnya situasi yang digunakan sebagai dasar adanya alasan penghapus pidana. Terhadap perbuatan atau keadaan yang bagaimana seseorang patut dicela perlu dilihat dari kasus per kasus, berdasarkan nilai moral dan sosial yang berlaku. Penerapan asas culpa in causa ini pun harus pula memperhatikan asas proporsionalitas dan subsidiaritas.


Pasal 38

Setiap orang yang melakukan tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal ini, tidak dipidana. Kepada pembuat tindak pidananya dikenakan tindakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 98.
Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab yang menentukan adalah faktor akalnya. Akalnya yang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Dalam hal tidak mampu bertanggungjawab, keadaan akal pembuat tindak pidana tidak berfungsi normal. Tidak normalnya fungsi akal, disebabkan karena perubahan pada fungsi jiwa yang mengakibatkan gangguan pada kesehatan jiwa. Jadi pembuat tindak pidana tidak mampu bertanggung jawab tersebut karena sebab-sebab tertentu yang hanya dapat dijelaskan dari segi medis. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, hakim tidak boleh mengandalkan kemampuan berpikir dirinya sendiri. Untuk itu hakim wajib menghadirkan seorang saksi ahli yang dapat menjelaskan hal tersebut, sehingga pembuat tindak pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab. Perumusan ketentuan dalam pasal ini bersifat deskriptif normatif yaitu menyebutkan sebab-sebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan tersebut kepada pembuat tindak pidananya dan menentukan pula akibatnya yaitu tidak mampu bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan "gangguan jiwa atau penyakit jiwa" adalah sesuatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada kesehatan jiwa.
Melakukan tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berarti:
a. tidak mampu memaksudkan suatu tujuan yang sadar;
b. tidak mampu untuk mengarahkan kemauannya; atau
c. tidak mampu untuk memahami dan menginsyafi sifat melawan hukum dari tindakannya.
Yang dimaksud dengan "retardasi mental" adalah suatu keadaan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. fungsi intelektual umum berada di bawah rata-rata yang cukup berarti;
b. tidak mampu memenuhi norma berdikari dan tanggung jawab sosial sesuai dengan usia dan lingkungan budaya; dan
c. mulai timbul di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Kriteria tersebut tidak bersifat mutlak, untuk itu para ahli ilmu jiwa kedokteran perlu dimintakan pertimbangan sesuai dengan perkembangan disiplin ilmu yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan "tidak mampu untuk memaksudkan suatu tujuan yang sadar" adalah ketidakmampuan mental seseorang untuk membentuk kesengajaan yang sadar (intentional disability).


Pasal 39

Yang dimaksudkan dengan "kurang dapat dipertanggungjawabkan" adalah ketidakstabilan mental pada seseorang untuk mengarahkan kemauan atau kehendaknya dalam rangka pertanggungjawaban. Dalam hal demikian pembuat tindak pidana tindak pidana dinilai sebagai kurang mampu untuk menginsyafi tentang sifat melawan hukumnya dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsyafan yang dapat dipidana. Atas perbuatan tersebut pidananya dapat diperingan, namun hakim dapat juga hanya menjatuhkan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa, atau menyerahkan pembuat tindak pidana tindak pidana kepada pemerintah untuk diambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 40

Ketentuan dalam Pasal ini berisikan ketentuan alasan pemaaf.
Yang dimaksud dengan "alasan pemaaf" adalah alasan yang meniadakan kesalahan pembuat tindak pidana tindak pidana, dan oleh karena itu pembuat tindak pidana tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Perbuatan pembuat tindak pidana tindak pidana tetap merupakan tindak pidana, tetapi karena terdapat alasan pemaaf tersebut maka pembuat tindak pidana tindak pidana tidak dipidana.
Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa dalam hal pembuat tindak pidana tindak pidana tidak mengetahui keadaan yang merupakan unsur suatu tindak pidana, maka hal itu menjadi alasan tidak dipidananya pembuat tindak pidana. Dengan perkataan lain, ketentuan ini merupakan alasan pemaaf atas dilakukannya tindak pidana tersebut, dengan batasan sebagai berikut:
a. jika pembuat tindak pidana tindak pidana tidak mengetahuinya itu dapat dipersalahkan kepadanya sebagai suatu kealpaan, atau
b. jika pembuat tindak pidana tindak pidana tidak mengetahuinya itu berdasarkan alasan-alasan yang tidak masuk akal.
Dalam kedua hal tersebut pembuat tindak pidana tindak pidana tetap dipandang mempunyai kesalahan dan karena itu ia tetap dapat dipidana, tetapi pidananya diperingan.


Pasal 41

Ketentuan dalam Pasal ini sebagaimana juga dalam Pasal 40 berisi ketentuan alasan pemaaf. Selanjutnya yang dimaksud dengan "daya paksa" adalah keadaan sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana tindak pidana tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Mengingat keadaan yang ada pada diri pembuat tindak pidana tindak pidana, maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut.
Pembuat tindak pidana tindak pidana yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh daya paksa, terpaksa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu karena didorong oleh suatu tekanan kejiwaan yang datangnya dari luar. Dalam keadaan demikian kehendak pembuat tindak pidana menjadi tidak bebas. Dengan adanya tekanan dari luar tersebut, maka keadaan kejiwaan pembuat tindak pidana tindak pidana pada saat itu tidak berfungsi secara normal. Keadaan ini berbeda dengan keadaan tidak mampu bertanggung jawab. Dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawab, fungsi kejiwaannya tidak normal bukan disebabkan karena tekanan dari luar, melainkan keadaan kejiwaanya itu sendiri tidak berfungsi secara normal.
Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan-keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.


Pasal 42

Ketentuan melakukan pembelaan terpaksa yang diatur dalam Pasal ini juga merupakan alasan pemaaf. Untuk menentukan pembelaan terpaksa diperlukan tiga keadaan, yaitu:
a. perbuatan yang dilakukan harus benar-benar terpaksa dilakukan;
b. pembelaan dilakukan hanya terhadap kepentingan yang telah ditentukan dalam undang-undang, yaitu kepentingan diri, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain; dan
c. harus ada serangan seketika atau ancaman serangan yang melawan hukum dan segera.
Pembelaan dalam ketentuan ini merupakan pembelaan yang melampaui batas karena kegoncangan jiwa yang hebat yang langsung disebabkan oleh serangan atau ancaman serangan yang bersifat melawan hukum.


Pasal 43

Ketentuan dalam Pasal ini juga mengatur alasan pemaaf.
Yang dimaksud dengan "dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya" adalah perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang biasa dilakukan oleh yang bersangkutan sebagai tugas sehari-hari.


Pasal 44

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana, dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang dilakukan.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.


Pasal 47

Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut:
a. pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab;
b. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau
c. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.


Pasal 48

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 tanggung jawab korporasi dalam hukum pidana telah diterima sebagai suatu prinsip hukum. Namun korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap semua obyek, kecuali jika secara khusus telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam lingkungan usahanya. Hal ini harus secara tegas diatur dalam Anggaran Dasar atau ketentuan lain yang berlaku sebagai Anggaran Dasar dari korporasi yang bersangkutan.


Pasal 49

Dalam hukum pidana, penjatuhan pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium. Oleh karena itu, dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dibandingkan dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna, maka tuntutan pidana atas korporasi tersebut dapat dikesampingkan.
Pengenyampingan tuntutan pidana atas korporasi tersebut harus didasarkan pada motif atau alasan yang jelas.


Pasal 50

Cukup jelas.


Pasal 51

Ayat (1)
Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.
Ayat (2)
Meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.


Pasal 52

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini memuat pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
Dengan mempertimbangkan hal-hal yang dirinci dalam pedoman tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun terpidana. Rincian dalam ketentuan ini tidak bersifat limitatif, artinya hakim dapat menambahkan pertimbangan lain selain yang tercantum dalam ayat (1) ini.
Unsur "berencana" sebagaimana ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang lama, tidak dimasukkan dalam rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal Buku Kedua. Tidak dimuatnya unsur ini tidak berarti bahwa unsur berencana tersebut ditiadakan, tetapi lebih bijaksana jika dijelaskan dalam penjelasan ayat (1) ini. Berdasarkan hal ini, maka dalam menjatuhkan pidana hakim harus selalu memperhatikan unsur berencana, kesalahan pembuat tindak pidana, motif, dan tujuan dilakukannya tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, dan sikap batin pembuat tindak pidana.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Dengan memperhatikan bahwa salah salah satu tujuan pemidanaan berorientasi kepada usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, maka kepada terpidana yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal ini selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah:
a. kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana; dan
b. perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.
Setiap perubahan atau penyesuaian harus disetujui oleh terpidana yang bersangkutan agar benar-benar dapat menunjang kemajuan yang telah dicapai. Perubahan atau penyesuaian ini dilakukan dengan putusan pengadilan atas dasar permohonan yang diajukan ke pengadilan dan tidak mengurangi kewenangan yang ada pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan remisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 56

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini memberi kemungkinan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar hakim dapat tidak menjatuhkan pidana penjara ialah:
a. terdakwa melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara;
b. hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan:
- tujuan pemidanaan;
- pedoman pemidanaan;
- pedoman penjatuhan pidana penjara;
c. terdakwa belum pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (delapan belas) tahun.
Kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, dimaksudkan untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Di samping itu, dimaksudkan pula untuk menghindari penjatuhan pidana penjara yang pendek.
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini kewenangan hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibatasi yaitu pembuat tindak pidana tetap dijatuhi pidana penjara meskipun diancam dengan pidana tunggal apabila yang bersangkutan pernah dijatuhi pidana perjara karena tindak pidana yang dilakukannya setelah berumur 18 (delapan belas) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kewenangan hakim untuk mengganti pidana penjara dengan pidana denda, dilakukan pembatasan penggunaannya terhadap tindak pidana harta benda yang diancam pidana penjara secara tunggal, tetapi mempunyai sifat merusak tatanan dalam masyarakat (bersifat koruptif). Untuk tindak pidana ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana denda bersama-sama dengan pidana penjara.


Pasal 57

Ayat (1)
Dalam ketentuan ini hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan pidana tambahan atau mengenakan tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda. Pertimbangannya karena tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda dipandang sebagai tindak pidana yang ringan. Pidana tambahan atau tindakan yang dapat dijatuhkan hanya tertentu saja, khususnya yang bernilai uang seperti pembayaran ganti rugi, pemenuhan kewajiban adat yang bernilai uang, atau perbaikan atas akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang bersangkutan.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan tidak efektifnya penjatuhan pidana denda untuk seseorang yang telah berulangkali melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda.


Pasal 58

Meskipun hakim mempunyai pilihan dalam menghadapi rumusan pidana yang bersifat alternatif, namun dalam melakukan pilihan tersebut hakim senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan atau mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan apabila hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.


Pasal 59

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur perhitungan masa pidana apabila terpidana dijatuhi pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana penjara pengganti pidana denda. Pengurangan masa pidana yang dimaksud dalam ketentuan ayat ini bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda, dan atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial, merupakan jenis pidana baru yang di pelbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekwensi diterimanya hukum pidana yang bersifat "daad daderstrafrecht" yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana kemerdekaan. Melalui penjatuhan jenis pidana ini terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.


Pasal 63

Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (tahun).


Pasal 64

Ayat (1)
Pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana.
Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu, apabila terpidananya adalah korporasi dalam keadaan tertentu mempunyai efek penangkalan yang lebih efektif. Karena itu hakim dapat mengenakan pidana pencabutan hak yang dimiliki suatu korporasi meskipun dalam rumusan pidana ancaman tersebut tidak dicantumkan.
Begitu pula pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.


Pasal 66

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini di samping menganut asas maksimum khusus juga ketentuan minimum khusus. Maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat maksimum ancaman pidananya, sedangkan untuk batas pemidanaan yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum umum untuk pidana penjara adalah satu hari. Minimum khusus dalam arti untuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat.
Seseorang yang melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, akan tetapi hakim dapat menjatuhkan pidana selama 20 (dua puluh) tahun berturut-turut bilamana tindak pidana itu diancam pidana mati atau seumur hidup, atau ada pemberatan pidana. Tetapi dalam keadaan bagaimanapun hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari 20 (dua puluh) tahun.


Pasal 67

Ketentuan Pasal ini memberi kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan dalam Keputusan Presiden untuk memberi keringanan pidana bagi terpidana seumur hidup, yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah menjalani pidananya sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun dengan berkelakuan baik.
Karena putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah eksekutif.


Pasal 68

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk membantu hakim dalam menentukan takaran pidana yang akan dijatuhkan. Bersama-sama dengan ketentuan dalam Pasal 51 dan Pasal 52, hakim diharapkan dapat menjatuhkan pidana secara proporsional dan efektif.


Pasal 69

Ketentuan dalam Pasal ini memuat ketentuan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang menjalani pidana penjara. Narapidana yang dapat diberikan pembebasan bersyarat hanyalah narapidana yang masa pidananya paling singkat 1 1/2 (satu satu per dua) tahun. Setelah narapidana menjalani pidana penjara paling singkat 9 (sembilan) bulan di Lembaga Pemasyarakatan dan berkelakuan baik, maka narapidana tersebut dapat diberikan pembebasan bersyarat dengan harapan dapat dibina sedemikian rupa untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat. Oleh karena itu selama menjalani pidana dalam lembaga, setiap narapidana harus dipantau mengenai perkembangan hasil pembinaan terhadap dirinya.
Dalam hal narapidana telah melakukan beberapa tindak pidana sehingga harus menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut, maka untuk mempertimbang-kan kemungkinan pemberian pembebasan bersyarat, pidana tersebut dijumlahkan dan dianggap satu pidana.
Pemberian pembebasan bersyarat disertai dengan masa percobaan. Masa percobaan ini sama dengan sisa waktu pidana penjara yang masih belum dijalani ditambah 1 (satu) tahun. Dalam masa percobaan ditentukan pula syarat-syarat yang harus dipenuhi narapidana. Apabila dalam masa percobaan terpidana ditahan secara sah karena sesuatu perkara, maka waktu selama ia berada dalam tahanan tidak diperhitungkan.
Pembebasan bersyarat harus dipandang sebagai usaha pembinaan dan bukan sebagai hadiah karena berkelakuan baik.


Pasal 70

Dalam ketentuan Pasal ini ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Syarat untuk tidak melakukan tindak pidana selama masa percobaan merupakan syarat umum. Sedangkan syarat khusus dalam masa percobaan adalah perbuatan tertentu yang harus dihindari atau harus dilakukan oleh narapidana, misalnya tidak boleh minum minuman keras. Syarat-syarat khusus tersebut tidak boleh mengurangi hak narapidana misalnya hak menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.


Pasal 71

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai kemungkinan pencabutan pembebasan bersyarat. Tiga bulan setelah habis masa percobaan, pembebasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali. Namun apabila sebelum waktu 3 (tiga) bulan narapidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali.
Dalam hal terpidana harus menjalani kembali pidananya, maka jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan saat mulai menjalani kembali pidananya tidak dihitung sebagai menjalani pidana.


Pasal 72

Cukup jelas.


Pasal 73

Pidana tutupan, meskipun merupakan salah satu jenis pidana pokok, namun pada dasarnya merupakan cara pelaksanaan dari pidana penjara yang bersifat istimewa (bijzondere strafmodaliteit). Karena itu jenis pidana ini tidak diancamkan secara khusus dalam perumusan suatu tindak pidana.
Pertimbangan penjatuhan pidana tutupan didasarkan pada motif dari pembuat tindak pidana tindak pidana yaitu karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Tindak pidana yang dilakukan karena alasan ini pada dasarnya tindak pidana politik.
Maksud yang patut dihormati dimaksud harus ditentukan oleh hakim dan harus termuat dalam pertimbangan putusannya.


Pasal 74

Pelaksanaan pidana pengawasan ini dikaitkan dengan ancaman pidana penjara. Pidana pengawasan bersifat non-custodial, probation, atau pidana penjara bersyarat yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana lama. Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya.


Pasal 75

Penjatuhan pidana pengawasan terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim, dengan memperhatikan keadaan dan perbuatan terpidana. Pidana pengawasan ini pada umumnya dijatuhkan kepada orang yang pertama kali melakukan kejahatan (first offender) dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pidana pengawasan dilakukan oleh pejabat pembina yang ada di Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Pejabat ini dapat pula meminta bantuan dari pemerintah daerah, lembaga sosial, atau orang tertentu.
Mengenai lama pengawasan, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang atau memperpendek masa pengawasannya. Usul untuk memperpanjang apabila selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan gejala-gejala yang membawa dirinya ke arah pelanggaran hukum. Sebaliknya usul untuk memperpendek apabila sikap dan tingkah laku terpidana menunjukkan perbaikan. Perpanjangan masa pengawasan tidak boleh menjadi lebih dari 2 (dua) kali masa pengawasan yang ditetapkan sebagai pidana.
Penetapan perubahan jangka waktu pengawasan adalah perubahan atas pidana yang dijatuhkan, karena itu harus didengar pendapat pihak terpidana, pejabat pembina, atau orang lain jika diperlukan.
Apabila dalam menjalani pidana pengawasan terpidana disyaratkan melakukan pekerjaan tertentu, terpidana mendapat pembayaran atas pekerjaannya yang hasilnya untuk terpidana, korban, atau untuk negara.


Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Ayat (1)
Pidana denda sebagai salah satu sarana dalam politik kriminal tidak kalah efektif dengan jenis pidana lainnya, oleh karena itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini jenis pidana denda tetap dipertahankan.
Ayat (2)
Dalam menentukan satuan terkecil pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat ini dipergunakan jumlah besarnya "upah maksimum harian".
Ayat (3)
Dalam ketentuan ayat ini, pidana denda dirumuskan secara kategoris. Perumusan secara kategoris ini dimaksudkan agar:
a. diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana; dan
b. lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi dan moneter.
Maksimum kategori pidana denda yang teringan (kategori I) adalah kelipatan 100 (seratus) kali jumlah pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat (2), sedangkan maksimum kategori pidana denda yang terberat (kategori VI) adalah kelipatan 200.000 (dua ratus ribu) kali. Kategori lainnya (II, III, IV, dan V) berturut-turut merupakan kelipatan 500 (lima ratus) kali, 2000 (dua ribu), 5000 (lima ribu), dan 20.000 (dua puluh ribu) kali jumlah pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat (2).
Ayat (4)
Mengingat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanya pidana denda, maka wajar apabila ancaman maksimum pidana denda yang dijatuhkan pada korporasi lebih berat daripada ancaman pidana denda terhadap orang perseorangan. Untuk itu telah dipilih cara menentukan maksimum pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana yaitu kategori lebih tinggi berikutnya.
Ayat (5)
Dalam hal rumusan tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak mencantumkan ancaman pidana denda terhadap korporasi, maka berlaku ketentuan dalam ayat ini, dengan minimum pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat (6).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.


Pasal 78

Cukup jelas.


Pasal 79

Cukup jelas.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Cukup jelas.


Pasal 82

Mengingat tujuan pemidanaan bukan sebagai pembalasan, maka dalam penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana secara nyata.


Pasal 83

Pidana kerja sosial dapat diterapkan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pidana kerja sosial adalah harus ada persetujuan terdakwa sesuai dengan ketentuan dalam Forced Labour Convention (Geneva Convention 1930), the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom (Treaty of Rome 1950), the Abolition of Forced Labour Convention (the Geneva Convention, 1957) dan the International Covenant on Civil and Political Rights (the New York Convention, 1966).
Pidana kerja sosial ini tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty), oleh karena itu pelaksanaan pidana ini tidak boleh mengandung hal-hal yang bersifat komersial. Riwayat sosial terdakwa diperlukan untuk menilai latar belakang terdakwa serta kesiapan yang bersangkutan baik secara fisik maupun mental dalam menjalani pidana kerja sosial. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat dilakukan di rumah sakit, rumah panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, dengan sebanyak mungkin disesuaikan dengan profesi terpidana


Pasal 84

Dalam ketentuan Pasal ini kembali ditekankan sifat kekhususan pidana mati yaitu hanya dapat dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.


Pasal 85

Ayat (1)
Pelaksanaan pidana mati dengan cara menembak terpidana didasarkan pada pertimbangan bahwa sampai saat ini cara tersebut dinilai paling manusiawi. Dalam hal dikemudian hari terdapat cara lain yang lebih manusiawi daripada dengan cara menembak terpidana, pelaksanaan pidana mati disesuaikan dengan perkembangan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil harus ditunda sampai ia melahirkan. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanan pidana mati tidak mengakibatkan terjadinya pembunuhan terhadap dua makhluk.
Begitu pula pelaksanaan pidana mati terhadap orang sakit jiwa ditangguhkan sampai orang yang bersangkutan sembuh dari penyakitnya.
Ayat (4)
Mengingat beratnya pidana mati dan tidak mungkin dapat diperbaiki lagi apabila ada kekeliruan, maka pelaksanaannya baru dapat dilakukan setelah Presiden menolak permohonan grasi orang yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pidana mati, Indonesia sudah mengikuti konvensi Safeguards Quaranteeing Protection on the Rights of those Facing the Death Penalty Economic and Social Council Resolution 1984/50, adopted 25 May 1984.


Pasal 86

Dalam Kitab Undang-undang Pidana ini, pidana mati bukan sebagai salah satu jenis pidana pokok, tetapi sebagai pidana khusus. Kekhususan ini ditunjukkan bahwa pidana mati diancamkan dan dijatuhkan secara sangat selektif. Dalam hubungan ini, hakim pertama-tama selalu mempertimbangkan secara mendalam apakah dalam kasus yang dihadapi dapat diterapkan pidana alternatif "penjara seumur hidup" ataupun "penjara 20 (dua puluh) tahun". Dalam hal masih terdapat keraguan mengenai kemungkinan penggunaan salah satu pidana alternatif tersebut untuk kasus yang bersangkutan, maka dalam ketentuan Pasal ini dibuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan "pidana mati bersyarat". Dalam hal syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal ini dipenuhi oleh terpidana selama masa penundaan 10 (sepuluh) tahun, maka Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dapat mengubah pidana tersebut menjadi salah satu pidana alternatif. Dengan pola ini, maka jelaslah bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini ingin membatasi pelaksanaan pidana mati sesuai dengan perasaan keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dihitung sejak permohonan grasi ditolak.


Pasal 87

Dengan pola pemikiran yang sama dengan Pasal 76 (84), maka dalam hal putusan hakim yang menjatuhkan pidana mati telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan permohonan grasinya ditolak, namun pelaksanaan pidana mati tersebut tertunda selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia berwenang untuk mengubah putusan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup.


Pasal 88

Ayat (1)
Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim ditentukan secara limitatif, yaitu terbatas pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal ini. Dalam penjatuhan pidana tambahan yang perlu mendapat perhatian adalah pencabutan hak-hak tersebut jangan sampai mengakibatkan kematian perdata bagi seseorang, artinya, yang bersangkutan kehilangan sama sekali hak-haknya sebagai warganegara yang harus dapat hidup secara wajar dan manusiawi.
Hak-hak yang dapat dicabut senantiasa dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai salah satu dari tujuan pemidanaan, khususnya demi pengayoman atau perlindungan masyarakat.
Yang dimaksud dengan "profesi" adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu serta yang memiliki kode etik tertentu pula.
Ayat (2)
Dalam hal terpidana adalah korporasi, pidana tambahan dapat berupa pencabutan hak yang diperoleh korporasi, misalnya, hak untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu.


Pasal 89

Cukup jelas.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Ketentuan dalam Pasal ini memperluas kemungkinan penjatuhan pidana perampasan barang-barang tertentu dan tagihan. Pidana ini dapat dijatuhkan terlepas dari pidana pokok dalam hal tindak pidana yang bersangkutan diancam dengan pidana penjara tidak lebih daripada 7 (tujuh) tahun atau apabila hakim hanya mengenakan tindakan.


Pasal 93

Barang dan tagihan yang dikenai perampasan adalah yang erat kaitannya dengan tindak pidana yang terbukti dilakukan oleh pembuat tindak pidana tindak pidana dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan. Barang yang dapat dirampas ditentukan secara limitatif. Hal ini harus dibedakan dengan "perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana", lihat Pasal 85 ayat (2) huruf b. Dalam hal yang terakhir ini hubungan antara tindak pidana dengan keuntungan tidaklah ditentukan bentuknya


Pasal 94

Ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda, lihat ketentuan Pasal 78 , Pasal 79, dan Pasal 80.


Pasal 95

Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim dimaksudkan agar masyarakat mengetahui perbuatan apa dan pidana yang bagaimana yang dijatuhkan kepada terpidana. Pidana tambahan ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat.
Seperti pada pidana perampasan barang tertentu, apabila terpidana tidak membayar biaya pengumuman, maka berlaku ketentuan yang sama untuk pidana pengganti untuk pidana denda.


Pasal 96

Pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian menunjukkan adanya pengertian akan penderitaan korban suatu tindak pidana. Ganti kerugian harus dibayarkan kepada korban atau ahli waris korban. Untuk itu, hakim menentukan siapa yang merupakan korban yang perlu mendapat ganti kerugian tersebut.
Seperti pada pidana perampasan barang tertentu atau pengumuman putusan hakim, maka kepada terpidana yang tidak membayar ganti kerugian yang ditetapkan oleh hakim, dikenakan ketentuan tentang pidana pengganti untuk pidana denda.


Pasal 97

Cukup jelas.


Pasal 98

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan.
Dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa pembuat tindak pidana yang memenuhi ketentuan pasal tersebut tidak dapat dipidana tetapi hanya dikenakan tindakan. Terhadap pembuat tindak pidana tindak pidana yang memenuhi ketentuan Pasal 39 hakim dapat memilih antara mengurangi pidana yang dijatuhkan atau mengenakan tindakan.
Tindakan yang dapat dikenakan kepada pelaku dibagi dalam 2 (dua) kelompok. Kelompok yang pertama diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab atau kurang mampu bertanggung jawab. Sedangkan kelompok kedua diperuntukkan bagi orang yang mampu bertanggung jawab dan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat.


Pasal 99

Cukup jelas.


Pasal 100

Rumah sakit yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini baik rumah sakit milik pemerintah atau swasta.


Pasal 101

Cukup jelas.


Pasal 102

Cukup jelas.


Pasal 103

Cukup jelas.


Pasal 104

Putusan pengadilan yang berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dimaksudkan agar pembuat tindak pidana tindak pidana tidak dapat menarik manfaat dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun hubungan antara keuntungan dan tindak pidana tidak dimasukkan ke dalam bentuk-bentuk yang ditentukan dalam Pasal 93.
Tindakan perampasan ini bertujuan memberantas kegiatan pencucian uang haram (money laundering) atau yang dikenal pula dengan nama pemutihan uang haram atau menyamarkan uang haram, yang diperoleh dari tindak pidana antara lain perdagangan narkotika.


Pasal 105

Cukup jelas.


Pasal 106

Cukup jelas.


Pasal 107

Cukup jelas.


Pasal 108

Cukup jelas.


Pasal 109

Cukup jelas.


Pasal 110

Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak.
Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian kasusnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Batas umur maksimum 18 (delapan belas) tahun untuk dapat diajukan ke pengadilan anak, adalah sesuai dengan umur kedewasaan anak, agar bagi mereka dapat diterapkan ketentuan mengenai anak.


Pasal 111

Mengingat jiwa anak yang masih peka dan labil, maka sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana tindak pidana dihindarkan dari pemeriksaan di sidang pengadilan.


Pasal 112

Mengingat bahwa pengulangan tindak pidana (recidive) yang dilakukan oleh anak pada umumnya disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan bukan karena bakat jahat dari anak itu sendiri, maka pemberatan pidana pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan.


Pasal 113

Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Hakim dapat memilih pidana yang dianggap tepat sesuai dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan dan sifat anak yang bersangkutan.
Jenis pidana pokok bagi anak yang terdapat dalam Pasal ini disusun dari yang ringan dan secara bertahap ke pidana yang lebih berat.


Pasal 114

Yang dimaksud dengan "pidana verbal" adalah jenis pidana yang paling ringan dan tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan bagi anak. Pidana verbal terdiri atas pidana peringatan dan pidana teguran keras.
Yang dimaksud dengan "pidana peringatan" adalah pemberian nasihat kepada anak agar menjauhi perbuatan yang negatif.
Yang dimaksud dengan "pidana teguran keras" adalah tidak hanya sekadar memberi nasihat melainkan anak diberi peringatan keras.


Pasal 115

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai pidana dengan syarat. Dalam hal pidana dengan syarat, hakim tidak menjatuhkan pidana penjara, tetapi berupa pidana pembinaan di luar lembaga, pidana kerja sosial, atau pidana pengawasan. Pada waktu menjatuhkan salah satu pidana tersebut, hakim menentukan syarat-syarat baik umum maupun khusus, yang harus dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka dapat dilakukan perpanjangan waktu menjalani pidana tersebut.


Pasal 116

Pidana pembinaan di luar lembaga dimaksudkan untuk memberikan pembinaan kepada anak, baik dalam rangka penyembuhan karena tidak atau kurang mampu bertanggung jawab pidana disebabkan sakit jiwa atau retardasi mental ataupun berupa pembinaan lainnya bagi anak yang sehat jiwanya untuk memperoleh keterampilan yang berguna bagi kehidupannya.


Pasal 117

Ketentuan dalam Pasal ini mutatis mutandis dengan pidana kerja sosial bagi orang dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (3) dan ayat (4).


Pasal 118

Ketentuan dalam Pasal ini mutatis mutandis dengan pidana pengawasan bagi orang dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76.


Pasal 119

Cukup jelas.


Pasal 120

Pada dasarnya pidana denda harus dibayar oleh anak itu sendiri sehingga pidana itu dapat dirasakan oleh anak. Oleh karena itu, pidana denda dijatuhkan pada anak yang telah berumur 16 (enam belas) tahun, yaitu mereka yang telah layak bekerja, dengan batas usia kerja 14 (empat belas) tahun.


Pasal 121

Karena pidana pembatasan kebebasan merupakan pidana terberat dibanding dengan pidana lainnya, maka pidana ini dijatuhkan sebagai upaya terakhir. Selain itu juga ditentukan syarat-syarat secara rinci, sehingga hakim dapat memilih dengan tepat alasan penjatuhan pidana pembatasan kebebasan.
Dalam melaksanakan pidana pembatasan kebebasan, lembaga pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 hendaknya diberdayakan


Pasal 122

Pidana pembinaan dalam lembaga dilaksanakan baik dalam lembaga yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh swasta. Namun jika keadaan perbuatan anak membahayakan masyarakat, maka anak yang bersangkutan ditempatkan dalam lembaga pemasyarakatan anak. Lama pembinaan dalam lembaga sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Terhadap pidana ini dapat pula dikenakan pembebasan bersyarat, yaitu paling lama setelah menjalani 1/2 (satu per dua) dari lamanya pembinaan yang ditentukan oleh hakim, dengan syarat berkelakuan baik.


Pasal 123

Ancaman pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dapat dijatuhkan kepada anak, dengan harapan anak tersebut masih dapat dibina untuk diperbaiki baik budi pekerti maupun akhlaknya. Pidana penjara untuk anak paling lama 10 (sepuluh) tahun dianggap telah cukup untuk membina anak demi kehidupan selanjutnya.


Pasal 124

Pidana tutupan merupakan cara pelaksanaan pidana penjara. Kemungkinan dapat terjadi bahwa anak yang mendekati umur 17 (tujuh belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun telah ikut dalam kegiatan politik atau tindakan yang berdasarkan keyakinan yang patut dihormati, maka terhadap anak tersebut dapat pula dikenakan pidana tutupan.


Pasal 125

Cukup jelas.


Pasal 126

Tindakan yang dikenakan terhadap anak mutatis mutandis dengan tindakan untuk orang dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 100.


Pasal 127

Cukup jelas.


Pasal 128

Cukup jelas.


Pasal 129

Ketentuan dalam Pasal ini memuat hal-hal yang meringankan pidana. Percobaan dan pembantuan merupakan dasar peringan pidana. Yang dimaksud dengan "percobaan" lihat penjelasan Pasal 16. Sedangkan yang dimaksud dengan "pembantuan’ lihat penjelasan Pasal 22. Dalam percobaan, pembuat tindak pidana tindak pidana secara obyektif tidak mencapai apa yang dikehendaki sehingga wajar jika pidana yang diancamkan dikurangi. Dalam hal pembantuan, peranan dari pembantu dalam mewujudkan tindak pidana lebih kecil daripada pembuat tindak pidana tindak pidana materiil. Oleh karena itu wajar pula bila ancaman pidananya dikurangi.
Hal-hal lainnya yang meringankan pidana diambil dari keadaan yang nyata sehingga dipandang wajar untuk ditetapkan secara tegas dalam Undang-undang. Misalnya dalam hal wanita hamil muda, menurut ilmu pengetahuan, mereka seringkali mengalami goncangan jiwa yang dapat mengikibatkan perilaku yang tidak atau kurang rasional. Begitu pula pembuat tindak pidana tindak pidana yang melakukan tindak pidana karena goncangan kejiwaan, patut dipertimbangkan sebagai hal yang dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan.


Pasal 130

Ketentuan dalam Pasal ini bertujuan untuk memberi kepastian bagi hakim dalam menjatuhkan pidana apabila terdapat hal-hal yang meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana yang dapat dijatuhkan.


Pasal 131

Ketentuan dalam Pasal ini memuat hal-hal yang memperberat pidana. Dasar pemberatan pidana dalam beberapa hal sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti yang menyangkut pegawai negeri, bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang negara, di samping terdapat pula yang merupakan ketentuan baru.


Pasal 132

Ketentuan dalam Pasal ini bertujuan untuk memberi kepastian bagi hakim dalam menjatuhkan pidana apabila terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).


Pasal 133

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini bertujuan untuk memberi kepastian bagi hakim apabila dalam kasus tertentu menjumpai adanya alasan-alasan yang meringankan dan memberatkan pidana secara bersamaan.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian ayat (1) yaitu dalam hal terdapat alasan yang memperingan dan memperberat secara bersamaan, maka hakim berdasarkan pertimbangan tertentu dapat tidak memperingan atau memperberat pidana. Jadi tetap berlaku ancaman pidana menurut rumusan tindak pidana dalam pasal yang bersangkutan.


Pasal 134

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur mengenai perbarengan peraturan atau "konkursus idealis". Dipandang dari sudut hukum, dalam konkursus idealis terdapat kesatuan perbuatan, karena itu sistem pemidanaan yang digunakan dalam perbarengan peraturan adalah sistem absorpsi. Dasar pemikiran perbarengan (konkursus) ialah apabila seseorang diadili melakukan suatu perbuatan dan ternyata perbuatan tersebut lebih daripada satu tindak pidana, maka ketentuan yang berlaku adalah yang lebih lunak yaitu hanya berlaku satu ketentuan pidana saja, karena dalam konkursus idealis pada dasarnya hanya ada satu perbuatan sehingga sistem absorpsi lebih memadai.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur mengenai asas "lex specialis derogat legi generalis". Asas ini sengaja dicantumkan agar tidak ada keragu-raguan pada hakim apabila terjadi kasus yang diatur dalam dua undang-undang.


Pasal 135

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemidanaan apabila ada perbuatan berlanjut atau "voortgezette handeling". Seperti halnya konkursus idealis, dalam perbuatan berlanjut terdapat kesatuan perbuatan dipandang dari sudut hukum. Dalam perbuatan berlanjut digunakan sistem pemidanaan absorpsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sistem absorpsi juga digunakan dalam hal pemalsuan atau perusakan mata uang, memakai atau menggunakan benda yang dipalsu atau dirusak.


Pasal 136

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai perbarengan perbuatan atau "konkursus realis". Sistem pemidanaan yang digunakan adalah sistem kumulasi yang diperlunak atau absorpsi yang dipertajam. Sistem ini dipilih atas pertimbangan bahwa penjatuhan pidana sekaligus akan dirasakan sangat berat oleh terpidana daripada apabila pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri. Di samping itu, seandainya untuk tindak pidana yang pertama pembuat tindak pidana tindak pidana sudah dijatuhi pidana, diharapkan ia tidak akan melakukan tindak pidana lagi.


Pasal 137

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur perbarengan perbuatan, akan tetapi ancaman pidana terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana yang tidak sejenis. Dalam hal ini digunakan sistem pemidanaan kumulasi, namun jumlah pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi maksimum ancaman pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga). Jadi digunakan sistem kumulasi yang diperlunak.
Ayat (2)
Apabila perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana denda, maka yang diperhitungkan adalah maksimum pidana penjara yang menggantikan pidana denda tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 138

Jika terpidana dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, maka wajar apabila tidak dikenakan pidana lain seperti pidana denda. Pidana tambahan yang dapat dikenakan adalah yang disebutkan dalam ketentuan Pasal ini.


Pasal 139

Cukup jelas.


Pasal 140

Cukup jelas.


Pasal 141

Ketentuan dalam Pasal ini memberi petunjuk kepada hakim apabila ia menjatuhkan pidana kepada seseorang, akan tetapi terpidana ini telah dijatuhi pidana pula atas tindak pidana yang dilakukan sebelum dijatuhi pidana tersebut. Dalam hal ini pidana yang dijatuhkan sebelumnya harus diperhitungkan pula seolah-olah diadili pada saat yang sama dengan perkara pidana yang diadili sekarang. Dengan demikian ketentuan tentang perbarengan harus diterapkan.


Pasal 142

Huruf a
Ketentuan dalam huruf a ini berhubungan dengan asas ne bis in idem.
Huruf b
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap perkara tersebut. Tidak dilakukannya penuntutan karena kesalahan seseorang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum terpidana meninggal dunia, maka pidana denda, barang yang dirampas, dan biaya perkara dapat dipertanggung-jawabkan kepada para ahli waris terpidana.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Bagi tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I atau Kategori II, dinilai cukup apabila terhadap orang yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan, asal membayar denda maksimum yang diancamkan. Penuntut umum harus menerima keinginan terdakwa untuk memenuhi maksimum denda tersebut.
Bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III, jika penuntut umum menyetujui terdakwa dapat memenuhi maksimum denda untuk menggugurkan penuntutan.
Huruf g
Amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif Presiden, setelah memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pemberian amnesti maka semua akibat hukum pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menjadi hapus. Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana ditiadakan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Terhadap tindak pidana yang hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, maka apabila pengaduan ditarik kembali dianggap tidak ada pengaduan, asalkan dilakukan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini.
Huruf j
Cukup jelas.


Pasa1 143

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Meskipun tindak pidana yang dilakukan terlebih dahulu sudah gugur hak penuntutannya berdasarkan Pasal 142 huruf c, namun apabila terdakwa mengulangi perbuatannya, maka terhadap tindak pidana yang kedua dan selanjutnya tetap berlaku ketentuan pemberatan ancaman pidana bagi pengulangan tindak pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu.


Pasal 144

Apabila seseorang melakukan tindak pidana dan putusan pengadilan terhadap tindak pidana tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap orang tersebut dalam perkara yang sama tidak dapat lagi dilakukan penuntutan pidana (asas ne bis in idem). Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum. Dikecualikan dalam ketentuan ini, apabila terdapat alasan untuk melakukan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam hal terjadi Peninjauan Kembali, putusan pidana atas Peninjauan Kembali tersebut tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.


Pasal 145

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pengecualian dari ayat (1) huruf a. Meskipun putusan dari hakim luar negeri tersebut berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, orang yang melakukan tindak pidana tersebut masih dapat dituntut di Indonesia apabila tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam ayat ini. Ketentuan ini dinilai penting karena tindak pidana tersebut dinilai sangat merugikan negara kita.


Pasal 146

Ayat (1)
Ketentuan kedaluwarsa dalam ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum terhadap status tindak pidana yang dilakukan. Di samping itu dengan lewatnya jangka waktu tersebut pada umumnya sulit untuk menentukan alat-alat bukti.
Penentuan jangka waktu tenggang kedaluwarsa disesuaikan dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan. Bagi tindak pidana yang lebih berat, tenggang waktu kedaluwarsa lebih lama daripada tenggang waktu bagi tindak pidana yang lebih ringan.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini disesuaikan dengan prinsip dalam hukum pidana yang memperlakukan secara khusus bagi anak di bawah umur tertentu. Oleh karena itu, tenggang waktu kedaluwarsa terhadap tindak pidana yang dilakukan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun lebih singkat daripada tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.


Pasal 147

Sesuai dengan sifat tindak pidana yang bersifat berlangsung (voorduurend), maka selesainya tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal ini ialah pada waktu korban yang dilarikan, diculik, atau dirampas kemerdekaannya, dilepaskan. Apabila korban sampai dibunuh maka waktu gugurnya penuntutan, dihitung mulai hari berikutnya dari waktu matinya korban.


Pasal 148

Cukup jelas.


Pasal 149

Yang dimaksud dengan "sengketa hukum" adalah perbedaan pendapat mengenai persoalan hukum yang harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan lain sebelum perkara pokok diputuskan.


Pasal 150

Cukup jelas.


Pasal 151

Karena sifat pidana itu melekat pada diri pribadi terpidana, dengan sendirinya apabila terpidana itu meninggal dunia, maka pidana denda tidak dapat dibayar dari harta warisan terpidana.
Meskipun pidana denda tidak dapat dibayarkan dari harta warisan terpidana yang meninggal dunia, namun pidana perampasan barang dan atau tagihan, tetap dapat dijalankan.


Pasal 152

Tenggang kedaluwarsa gugurnya pelaksanaan pidana lebih lama dari tenggang kedaluwarsa bagi penuntutan karena dalam pelaksanaan pidana, kesalahan terpidana sudah terbukti, sehingga sudah semestinya kalau tenggang waktunya lebih lama dan tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.
Mengingat pidana mati merupakan pidana yang terberat yang dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana tindak pidana yang betul-betul dipandang perlu disingkirkan dari masyarakat, maka terhadap pelaksanaan pidana mati tidak dikenal tenggang kedaluwarsanya.


Pasal 153

Yang dimaksud dengan "putusan hakim dapat dilaksanakan" adalah putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.


Pasal 154

Cukup jelas.


Pasal 155

Cukup jelas.


Pasal 156

Cukup jelas.


Pasal 157

Cukup jelas.


Pasal 158

Cukup jelas.


Pasal 159

Cukup jelas.


Pasal 160

Cukup jelas.


Pasal 161

Cukup jelas.


Pasal 162

Cukup jelas.


Pasal 163

Cukup jelas.


Pasal 164

Cukup jelas.


Pasal 165

Cukup jelas.


Pasal 166

Cukup jelas.


Pasal 167

Cukup jelas.


Pasal 168

Cukup jelas.


Pasal 169

Cukup jelas.


Pasal 170

Cukup jelas.


Pasal 171

Cukup jelas.


Pasal 172

Cukup jelas.


Pasal 173

Cukup jelas.


Pasal 174

Cukup jelas.


Pasal 175

Cukup jelas.


Pasal 176

Cukup jelas.


Pasal 177

Cukup jelas.


Pasal 178

Cukup jelas.


Pasal 179

Cukup jelas.


Pasal 180

Cukup jelas.


Pasal 181

Cukup jelas.


Pasal 182

Cukup jelas.


Pasal 183

Cukup jelas.


Pasal 184

Cukup jelas.


Pasal 185

Cukup jelas.


Pasal 186

Cukup jelas.


Pasal 187

Cukup jelas.


Pasal 188

Cukup jelas.


Pasal 189

Cukup jelas.


Pasal 190

Cukup jelas.


Pasal 191

Cukup jelas.


Pasal 192

Cukup jelas.


Pasal 193

Cukup jelas.


Pasal 194

Cukup jelas.


Pasal 195

Cukup jelas.


Pasal 196

Cukup jelas.


Pasal 197

Cukup jelas.


Pasal 198

Cukup jelas.


Pasal 199

Cukup jelas.


Pasal 200

Cukup jelas.


Pasal 201

Cukup jelas.


Pasal 202

Cukup jelas.


Pasal 203

Cukup jelas.


Pasal 204

Cukup jelas.


Pasal 205

Cukup jelas.


Pasal 206

Cukup jelas.


Pasal 207

Cukup jelas.


Pasal 208

Cukup jelas.


Pasal 209

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Komunisme/Marxisme-Leninisme" adalah paham atau ajaran Karl Mark yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.
Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 210

Lihat penjelasan Pasal 207.


Pasal 211

Cukup jelas.


Pasal 212

Cukup jelas.


Pasal 213

Yang dimaksud dengan "makar", lihat Pasal 190. Berdasarkan pengertian ini, maka untuk terjadinya makar harus sudah ada permulaan pelaksanaan, sehingga apabila hanya berupa niat tidak termasuk pengertian makar. Demikian pula, apabila pembuat tindak pidana telah melakukan perbuatan pelaksanaan, kemudian mengundurkan diri secara sukarela tetap dikatakan melakukan makar.
Yang hendak dilindungi dari tindak pidana dalam pasal ini adalah Presiden atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, pembuat tindak pidana tindak pidana harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa yang menjadi sasaran dalam melakukan tindak pidana ini adalah Presiden dan Wakil Presiden. Tujuannya adalah untuk membunuh, merampas kemerdekaan, atau membuat mereka tidak mampu memerintah.
Yang dimaksud dengan "merampas kemerdekaan" termasuk pula melanjutkan perampasan kemerdekaan.
Yang dimaksud dengan "menjadikan tidak mampu menjalankan pemerintahan" adalah setiap perbuatan apapun selain membunuh atau merampas kemerdekaan, sehingga Presiden atau Wakil Presiden tidak dapat menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya.


Pasal 214

Tindak pidana yang dilakukan dengan maksud agar sebagian atau seluruh wilayah negara jatuh kepada kekuasaan asing, merupakan pengkhianatan ekstern atau "landverraad" karena melibatkan negara asing.
Tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara merupakan pengkhianatan intern atau "hoogverrad", karena tidak melibatkan negara asing, walaupun secara berangsur-berangsur dapat juga melibatkan kekuasaan asing.
Yang dimaksud dengan "paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun" adalah rentang waktu ancaman pidananya antara 5 (lima ) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun.


Pasal 215

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menggulingkan pemerintah" adalah meniadakan atau mengubah susunan pemerintahan yang sah dengan cara yang tidak sah menurut Undang-Undang Dasar. Jadi apabila dilakukan secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar tidak dapat diterapkan Pasal ini.
Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini ada 2 (dua) hal yaitu meniadakan susunan pemerintahan yang sah menurut Undang-Undang Dasar, dan mengubah susunan pemerintahan dengan cara yang tidak sah menurut Undang-Undang Dasar.
Meniadakan susunan pemerintahan berarti menghilangkan susunan pemerintah yang ada dan diganti dengan yang baru. Mengubah susunan pemerintah berarti tidak meniadakan susunan pemerintahan yang lama, akan tetapi hanya mengubah saja. Cara mengganti dan mengubah susunan pemerintahan harus tidak sah.
Ayat (2)
Pemberatan pidana terhadap pemimpin atau pengatur makar sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dipandang wajar karena mereka sebagai otak (auctor intelectualis) dari tindak pidana tersebut.


Pasal 216

Ayat (1)
Ketentuan pasal ini ditujukan kepada sekelompok masyarakat yang karena sesuatu hal mengangkat senjata melawan pemerintahan yang sah.
Yang dimaksud dengan "senjata" adalah setiap jenis senjata baik senjata modern maupun senjata tradisionil.
Ayat (2)
Pemberatan pidana terhadap pemimpin atau pengatur pemberontakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dipandang wajar karena mereka sebagai otak (auctor intelectualis) dari tindak pidana tersebut.


Pasal 217

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah perbuatan yang dilakukan di luar negeri yang bermaksud menggulingkan pemerintah.
Yang dimaksud dengan "menggulingkan pemerintah" adalah meniadakan atau mengubah susunan pemerintahan yang sah dengan cara yang tidak sah menurut Undang-Undang Dasar.


Pasal 218

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pertahanan dan keamanan negara yang harus dirahasiakan agar jangan sampai jatuh ke tangan musuh.


Pasal 219

Cukup jelas.


Pasal 220

Yang menjadi subyek tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini adalah setiap orang yang bertugas melakukan perundingan dengan negara asing atas nama Pemerintah. Ini berarti ia mewakili Pemerintah dan segala akibat dari perundingan tersebut menjadi tanggung jawab Pemerintah. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini, orang tersebut dilarang bertindak merugikan pertahanan keamanan negara.


Pasal 221

Cukup jelas.


Pasal 222

Cukup jelas.


Pasal 223

Yang dimaksud dengan "tentara asing" ialah tentara resmi dari negara asing atau tentara yang akan memberontak terhadap negara asing tersebut.


Pasal 224

Cukup jelas.


Pasal 225

Tindak pidana dalam Pasal ini merupakan pengkhianatan kepada negara atau menjadi mata-mata atau kaki tangan negara asing.


Pasal 226

Cukup jelas.


Pasal 227

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi barang yang bersifat rahasia negara, misalnya peta bumi, rencana, gambar atau barang lain yang berhubungan dengan pertahanan keamanan. Oleh karena itu barang tersebut dilarang diumumkan, diberitahukan, atau diberikan kepada orang yang tidak berhak mengetahui.


Pasal 228

Cukup jelas.


Pasal 229

Cukup jelas.


Pasal 230

Cukup jelas.


Pasal 231

Yang dimaksud dengan "cara curang", misalnya memperdayakan, menyamar, memakai nama, atau kedudukan palsu.


Pasal 232

Huruf a
Yang dimaksud dengan "instalasi negara" dalam Pasal ini adalah instalasi tertentu (penting) yaitu Istana Negara yang digunakan oleh Presiden dan Wakil Presiden untuk kegiatan kenegaraan, kediaman resmi Presiden dan Wakil Presiden, gedung-gedung Lembaga Tinggi Negara, dan gedung yang digunakan untuk tamu-tamu negara yang setingkat dengan Presiden.
Yang dimaksud dengan "instalasi militer" adalah instalasi vital militer.
Huruf b
Cukup jelas.


Pasal 233

Cukup jelas.


Pasal 234

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud bekerja pada musuh sebagai mata-mata ialah:
a. memiliki, menguasai, atau memperoleh dengan maksud untuk meneruskannya langsung maupun tidak langsung kepada musuh negara Republik Indonesia, sesuatu peta, rancangan, gambar atau tulisan tentang bangunan-bangunan militer atau rahasia militer ataupun keterangan tentang rahasia Pemerintah dalam bidang politik, diplomasi atau ekonomi;
b. melakukan penyelidikan untuk musuh tentang hal tersebut pada huruf a atau menerima dalam pemondokan, menyembunyikan atau menolong seorang penyelidik musuh;
c. mengadakan, memudahkan atau menyebarkan propaganda untuk musuh;
d. melakukan sesuatu usaha bertentangan dengan kepentingan negara sehingga terhadap seseorang dapat melakukan penyelidikan, penuntutan, perampasan atau pembatasan kemerdekaan, penjatuhan pidana atau tindakan lainnya oleh atau atas kekuasaan musuh; atau
e. memberikan kepada atau menerima dari musuh atau pembantu-pembantu musuh, sesuatu barang atau uang, atau melakukan sesuatu perbuatan yang menguntungkan musuh atau pembantu-pembantunya, atau menyukarkan atau merintangi atau menggagalkan sesuatu tindakan terhadap musuh atau pembantu-pembantunya.
Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 235

Cukup jelas.


Pasal 236

Yang dimaksud dengan "perbuatan curang menyerahkan barang-barang keperluan tentara", misalnya pemasok yang menyerahkan barang-barang yang jumlah, berat, atau keadaannya kurang atau tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan.


Pasal 237

Cukup jelas.


Pasal 238

Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup’ adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan ksejahteraan manusia serta mahluk lainnya.
Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang dengan sengaja zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang.
Terorisme sudah diterima sebagai salah satu tindak pidana internasional dan karena itupun sudah ada konvensi internasional yang mencela dan mengancam dengan pidana terhadap perbuatan tersebut. Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa patut menghormati konvensi ini dan karena itu menjadikan perbuatan terorisme sebagai suatu tindak pidana.


Pasal 239

Cukup jelas.


Pasal 240

Yang dimaksud dengan "bahan-bahan lainnya yang berbahaya" termasuk gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya.


Pasal 241

Pasal ini diambil dari Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna, 1979 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1986.


Pasal 242

Yang dimaksud dengan "bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara" adalah fasilitas penerbangan yang digunakan untuk keamanan dan pengaturan lalu lintas udara seperti terminal, bangunan, menara, rambu udara, penerangan, landasan, serta fasilitas lainnya, termasuk bangunannya ataupun instalasinya.


Pasal 243

Yang dimaksud dengan "tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan" adalah fasilitas penerbangan yang digunakan oleh atau bagi pesawat agar dapat mendarat (landing) atau tinggal landas (take off) secara aman, seperti tanda atau alat landasan (runway-marking) termasuk garis di tengah landasan (runway- counterline-marking), tanda penunjuk atau koordinat landasan (runway-designation-marking), tanda ujung landasan (runway-threshold-marking) dan tanda adanya rintangan landasan (obstacle-marking) termasuk lampu tanda pemancar radio, lampu tanda menara lalu lintas udara, dan lampu tanda gedung stasiun udara, dan lain sebagainya. Pengertian "memasang tanda atau alat yang keliru" dapat juga berarti secara sengaja dan melawan hukum memasang secara keliru alat atau tanda yang benar.


Pasal 244

Pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini adalah pesawat udara yang berada di darat, yaitu tidak dalam penerbangan atau masih dalam persiapan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu.


Pasal 245

Cukup jelas.


Pasal 246

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini lazim dikenal dengan pembajakan udara (hijacking). Dalam ketentuan ini perbuatan merampas atau mempertahankan perampasan tersebut dilakukan dengan jalan melawan hukum, misalnya menipu atau menyuap, sehingga pilot dengan sukarela menyerahkan pengemudian pesawat udara yang sedang dalam penerbangan.


Pasal 247

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini juga merupakan pembajakan udara (hijacking) sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional tentang The Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft yang diadakan di Den Haag-Belanda tahun 1970.
Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976 sehingga sebagai negara peserta harus memenuhi kewajiban yang diatur dalam Pasal 2 Konvensi, yaitu bahwa setiap negara peserta konvensi wajib memidana perbuatan pembajakan udara dengan pidana yang berat. Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana internasional yang berarti bahwa setiap negara (peserta konvensi) mempunyai jurisdiksi kriminal terhadap setiap pembajak udara, dengan tidak memandang nasionalitas pelaku maupun pesawat udara serta tempat (negara) terjadinya pembajakan. Ini berarti bahwa apabila pelaku pembajakan udara tersebut diketemukan di Indonesia, maka Indonesia berwenang menuntutnya. Oleh karena itu, Indonesia juga wajib membuat ketentuan pidana untuk tindak pidana ini.
Berbeda dengan pembajakan udara yang diatur dalam Pasal 628, dalam ketentuan Pasal ini perbuatan merampas atau mempertahankan perampasan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam bentuk apapun, sehingga pilot berada dalam keadaan daya paksa dan tak bisa berbuat lain kecuali menyerahkan pengemudian pesawat udara.


Pasal 248

Cukup jelas.


Pasal 249

Perbuatan kekerasan dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana yang wajib dilarang oleh negara peserta Konvensi Internasional mengenai The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation yang diadakan di Montreal-Kanada pada tahun 1971, sebagai pelengkap Konvensi Den Haag tahun 1970.


Pasal 250

Cukup jelas.


Pasal 251

Perbuatan kekerasan dalam Pasal ini merupakan tindak pidana yang wajib dilarang oleh negara peserta dari Konvensi Internasional mengenai The Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation yang diadakan di Montreal-Kanada pada tahun 1971, sebagai pelengkap dari konvensi Den Haag 1970.


Pasal 252

Cukup jelas.


Pasal 253

Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini adalah tindakan berupa pemberitahuan palsu, misalnya melalui telepon atau alat komunikasi lainnya tentang adanya bom dalam pesawat udara. Dengan pemberitahuan palsu tersebut, yang dikenal dengan istilah bomb hoax, sudah dapat menimbulkan kepanikan bagi awak serta penumpang yang dapat menyebabkan bahaya bagi pesawat udara.


Pasal 254

Cukup jelas.


Pasal 255

Cukup jelas.


Pasal 256

Ketentuan ini ditujukan terhadap auctor intelectualis.
Yang dimaksud dengan "merencanakan" termasuk mempersiapkan baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia.
Yang dimaksud dengan "menggerakkan" adalah melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji.


Pasal 257

Yang dimaksud dengan "bantuan" adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan.
Yang dimaksud dengan "kemudahan" adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan.


Pasal 258

Yang dimaksud dengan "bantuan" dan "kemudahan" lihat penjelasan Pasal 257.


Pasal 259

Yang dimaksud dengan "permufakatan jahat", lihat Pasal 15.
Ketentuan dalam Pasal ini tidak hanya memuat larangan permufakatan jahat melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 212, Pasal 214, Pasal 215, Pasal 216, Pasal 232, atau Pasal 234, tetapi juga perbuatan mempersiapkan atau memudahkan terjadinya salah satu tindak pidana tersebut.


Pasal 260

Cukup jelas.


Pasal 261

Tindak pidana penyerangan diri seseorang pada umumnya dapat merupakan berbagai tindak pidana, seperti penganiayaan atau melakukan kekerasan. Karena tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini ditujukan kepada diri Presiden atau Wakil Presiden, maka jika ancaman pidana tidak termasuk dalam pidana yang lebih berat, maka berlaku ketentuan dalam Pasal ini.


Pasal 262

Yang dimaksud dengan "menghina" adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Penghinaan terhadap orang biasanya merupakan tindak pidana aduan, akan tetapi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dituntut dengan tidak perlu ada pengaduan. Pasal ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden.


Pasal 263

Cukup jelas.


Pasal 264

Cukup jelas.


Pasal 265

Yang dimaksud dengan "negara sahabat" adalah negara yang tidak bertikai dengan negara Indonesia atau negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Indonesia. Negara yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia dipandang sebagai negara sahabat.


Pasal 266

Cukup jelas.


Pasal 267

Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini, pembuat tindak pidana tindak pidana harus mengetahui bahwa korban adalah kepala negara sahabat.


Pasal 268

Cukup jelas.


Pasal 269

Lihat penjelasan Pasal 262.
Penghinaan dalam ketentuan Pasal ini bukan merupakan delik aduan.


Pasal 270

Penghinaan dalam ketentuan pasal ini bukan merupakan delik aduan.


Pasal 271

Cukup jelas.


Pasal 272

Yang dimaksud dengan "menodai" adalah perbuatan dalam bentuk apapun yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud menghina.


Pasal 273

Cukup jelas.


Pasal 274

Cukup jelas.


Pasal 275

Yang dimaksud dengan "kekerasan atau ancaman kekerasan" tidak hanya mengancam terhadap orang akan tetapi juga terhadap barang, misalnya dengan jalan membakar gedung tempat rapat.
Yang dimaksud dengan "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.


Pasal 276

Yang dimaksud dengan "merintangi" adalah mencegah untuk menghadiri rapat.


Pasal 277

Yang dimaksud dengan "pemilihan" misalnya pemilihan umum, pemilihan gubernur, dan pemilihan kepala desa.


Pasal 278

Ketentuan dalam Pasal ini mengancam pidana terhadap seseorang yang menyuap atau menerima suap dalam pemilihan umum.


Pasal 279

Yang dimaksud dengan "perbuatan curang" pada waktu pemilihan, misalnya memasukkan kartu pemilih yang masih kosong dan kemudian menukar dengan kartu yang berisi suara orang lain atau mengambil kartu-kartu suara dari dalam kotak pemungutan suara dan diganti dengan kartu-kartu suara dengan nama-nama atau gambar lain.


Pasal 280

Yang dimaksud dengan "ikut serta dalam pemilihan" adalah orang yang bersangkutan sudah memberikan suaranya. Jika kartu suara tersebut belum dimasukkan ke dalam kotak suara, maka perbuatan tersebut merupakan percobaan.


Pasal 281

Cukup jelas.


Pasal 282

Cukup jelas.


Pasal 283

Yang dimaksud dengan "menodai" adalah perbuatan dalam bentuk apapun yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud menghina.


Pasal 284

Pasal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya perbuatan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.


Pasal 285

Cukup jelas.


Pasal 286

Cukup jelas.


Pasal 287

Cukup jelas.


Pasal 288

Yang dimaksud dengan "menghasut" adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Menghasut dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan, dan harus dilakukan di muka umum, artinya di tempat yang didatangi publik atau di tempat yang khalayak ramai dapat mendengar.


Pasal 289

Cukup jelas.


Pasal 290

Cukup jelas.


Pasal 291

Cukup jelas.


Pasal 292

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).


Pasal 293

Cukup jelas.


Pasal 294

Pengertian senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimasukkan dipergunakan untuk pertanian, pekerjaan rumah tangga, atau kepentingan melakukan dengan sah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid)


Pasal 295

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai penganjuran yang gagal. Menurut pasal ini, orang yang menganjurkan sudah dapat dipidana, walaupun orang yang dianjurkan itu belum melakukan tindak pidana atau percobaan yang dapat dipidana. Penganjuran ini harus menggunakan sarana-sarana yang ditentukan dalam Pasal 20 huruf b. Penganjur tidak dapat dipidana apabila tidak jadinya orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana atau percobaan yang dapat dipidana itu karena suatu hal yang terletak pada kemauan penganjur sendiri, misalnya penganjur menarik kembali anjurannya, menghalang-halangi, dan lain-lain.


Pasal 296

Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini tindak pidana itu harus jadi dilakukan atau benar-benar terjadi. Jika tidak, maka tidak dapat dipidana.


Pasal 297

Cukup jelas.


Pasal 298

Cukup jelas.


Pasal 299

Yang dimaksud dengan "masuk dengan memaksa" adalah masuk dengan melawan kehendak yang dinyatakan oleh orang yang berhak. Orang yang berhak adalah orang yang mempunyai kekuasaan untuk menghalang-halangi atau melarang untuk masuk atau berada di tempat tersebut.
Yang dimaksud dengan "rumah" termasuk juga perahu atau kendaraan yang dijadikan tempat tinggal.
Yang dimaksud dengan "ruangan tertutup" adalah ruangan yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu dan bukan untuk umum.
Yang dimaksud dengan "pekarangan tertutup" adalah pekarangan yang nyata-nyata ada batasnya seperti pagar di sekeliling pekarangan tersebut.


Pasal 300

Ketentuan dalam Pasal ini bertujuan melindungi kepentingan pembicara terhadap orang yang secara melawan hukum mendengar atau merekam pembicaraan yang dilakukan. Dicantumkannya unsur melawan hukum dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan yang sepatutnya tidak dihukum, terkena ketentuan dalam Pasal ini, misalnya apabila:
a. alat bantu teknis itu dipasang sendiri oleh penghuni rumah atau ruangan yang bersangkutan dan menyebabkan pembicaraan di dalam ruangan tersebut didengar atau direkam secara tidak sengaja;
b. pembicaraan berlangsung melalui telepon radio dan diterima secara tidak sengaja oleh seseorang melalui alat penerima telepon radionya; atau
c. pembicaraan melalui telepon didengar atas perintah pegawai telepon yang berhak atau sehubungan dengan pemantauan cara kerja yang baik dari jaringan telepon.
Selain ketentuan tersebut di atas, termasuk yang dikecualikan adalah mendengarkan atau merekam pembicaraan yang dilakukan untuk keperluan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 301

Lihat penjelasan Pasal 300 (263)


Pasal 302

Cukup jelas.


Pasal 303

Cukup jelas.


Pasal 304

Yang dimaksud dengan "kantor pemerintah yang melayani kepentingan umum" antara lain kantor polisi, kantor kejaksaan, kantor pengadilan, kantor pajak, kantor pos, kantor kejaksaan, kantor pengadilan, kantor pajak, kantor pos, rumah sakit pemerintah, kantor walikota, dan kantor kelurahan.
Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah pejabat yang diberi kekuasaan atas seluruh kantor atau pegawai yang semata-mata diberi tugas untuk menjaga ketertiban dalam kantor tersebut.


Pasal 305

Yang dimaksud dengan "turut serta" tidak berarti harus secara aktif telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hanya menjadi anggota perkumpulan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini sudah diancam dengan pidana.
Yang dimaksud dengan "perkumpulan" adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mencapai tujuan bersama yang ditetapkan oleh para anggota dan tidak perlu ada Anggaran Dasarnya.


Pasal 306

Cukup jelas.


Pasal 307

Cukup jelas.


Pasal 308

Tindak pidana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini dikenal sebagai tindak pidana "proparte dolus proparte culpa"


Pasal 309

Yang dimaksud dengan "teriakan-teriakan palsu" misalnya orang berteriak ada kebakaran padahal tidak terjadi kebakaran.
Yang dimaksud dengan "tanda-tanda bahaya palsu" misalnya memukul kentongan tanda ada pembunuhan atau pencurian, padahal tidak terjadi pembunuhan atau pencurian.


Pasal 310

Cukup jelas.


Pasal 311

Yang dimaksud dengan "mengganggu rapat umum" adalah menimbulkan kekacauan atau suara gaduh sehingga peserta rapat tidak dapat mengikuti rapat dengan tenang dan tertib.


Pasal 312

Upacara penguburan jenazah meliputi upacara yang dilakukan pada waktu jenazah masih di rumah duka, dalam perjalanan ke pemakaman, maupun di tempat pemakaman.


Pasal 313

Yang dimaksud dengan "kuburan" adalah liang atau ruang tempat jenazah dengan atau tanpa peti jenazah dikubur, termasuk pula tanah penutupnya dan segala tanda-tanda di atasnya berupa apa saja.
Yang dimaksud dengan "menodai kuburan" misalnya menggunakan kuburan sebagai tempat melakukan perbuatan asusila.
Yang dimaksud dengan "tanda peringatan" misalnya kijing (nisan), salib, atau tumpukan batu yang disusun di atas liang.


Pasal 314

Yang menjadi sasaran perbuatan dalam ketentuan Pasal ini adalah jenazah dan barang yang ada bersama jenazah yang berada dalam kuburan.
Yang dimaksud dengan "jenazah" adalah orang yang sudah mati dan sudah dikubur, baik masih utuh maupun tidak tetapi sebagian besar bagian dari organ tubuhnya masih lengkap.


Pasal 315

Cukup jelas.


Pasal 316

Yang dimaksud dengan "gelar akademik" adalah gelar yang diberikan oleh perguruan tinggi melalui jenjang pendidikan formal.
Yang dimaksud dengan " profesi" misalnya dokter, apoteker, atau notaris.


Pasal 317

Ketentuan dalam Pasal ini mengancam pidana perbuatan peminjaman uang atau barang tanpa izin. Dalam praktek perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal ini sering disebut dengan "gadai gelap".


Pasal 318

Yang dimaksud dengan "pesta atau keramaian untuk umum" adalah pesta atau keramaian yang diadakan di tempat umum, misalnya pasar malam.
Yang dimaksud dengan "pawai umum" adalah arakarakan di jalan, misalnya pawai pembangunan.


Pasal 319

Pekerjaan yang harus mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah pekerjaan dokter, dokter gigi, dokter hewan, bidan, dan sebagainya. Orang yang dapat dijatuhi pidana menurut ketentuan dalam Pasal ini misalnya bukan dokter memberikan pengobatan sebagai dokter, bukan dokter gigi memberikan pengobatan, sebagai dokter gigi.
Yang dimaksud dengan "tidak dalam keadaan terpaksa" adalah di daerah tersebut cukup terdapat dokter atau dokter gigi.


Pasal 320

Cukup jelas.


Pasal 321

Yang dimaksud dengan "tanpa wewenang" adalah tanpa izin dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau pejabat yang ditunjuk. Misalnya menerima atau memberikan surat kepada narapidana harus mendapat izin dari pejabat tersebut.


Pasal 322

Cukup jelas.


Pasal 323

Cukup jelas.


Pasal 324

Yang dimaksud dengan "kendaraan", misalnya sepeda, sepeda motor, atau sarana angkutan lainnya.


Pasal 325

Ketentuan Pasal ini mengatur tentang tindak pidana yang lazim dikenal dengan "Contempt of Court".
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini ditujukan kepada advokat yang secara curang merugikan kliennya atau meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar pengadilan tidak keliru dalam mengadili dan menjatuhkan pidana pada seseorang yang bukan pembuat tindak pidana pidana (huruf a), untuk menjamin lancarnya proses peradilan (huruf b), dan untuk melindungi peradilan atau proses sidang pengadilan terhadap perbuatan yang menghina atau menyerang atau merusak kenetralan pengadilan (huruf c dan huruf d).


Pasal 326

Cukup jelas.


Pasal 327

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court).


Pasal 328

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelengggaraan peradilan (contempt of court).
Yang dimaksud dengan "pemeriksaan jenazah untuk kepentingan pengadilan" di dalam ketentuan pasal ini ialah pemeriksaan yang dilakukan seorang ahli guna mengetahui sebab kematian untuk kepentingan pemeriksaan sidang pengadilan.


Pasal 329

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court).
Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah polisi, jaksa, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara yang bersangkutan.


Pasal 330

Tindak pidana dalam ketentuan dalam Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court). Yang dimaksud dengan "saksi, ahli, atau juru bahasa" adalah sesuai dengan ketentuan dalam hukum acara yang berlaku.


Pasal 331

Semua perbuatan melawan hukum terhadap barang yang disita sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dianggap sebagai usaha menggagalkan pencarian keadilan. Oleh karena itu, tindak pidana dalam ketentuan pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court).


Pasal 332

Cukup jelas.


Pasal 333

Cukup jelas.


Pasal 334

Berbagai ketentuan yang ditunjuk dalam Pasal ini mengatur mengenai perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan atau merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yang lazim dikenal dengan "Contempt of Court" (lihat Pasal 325).


Pasal 335

Cukup jelas.


Pasal 336

Sila Pertama dari falsafah negara Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti agama, bagi masyarakat Indonesia merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu penghinaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia patut dipidana karena dinilai tidak menghormati dan menyinggung perasaan keagamaan dalam masyarakat


Pasal 337

Menghina KeAgungan Tuhan, Firman, dan sifat-Nya, merupakan penghinaan secara tidak langsung terhadap umat yang menghormati KeAgungan Tuhan, Firman, dan sifat-Nya, dan akan dapat menimbulkan keresahan dalam kelompok umat yang bersangkutan. Di samping mencela perbuatan penghinaan tersebut, Pasal ini bertujuan pula untuk mencegah terjadinya keresahan dan benturan dalam dan di antara kelompok masyarakat.


Pasal 338

Mengejek, menodai atau merendahkan Agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, Ajaran, dan Ibadah Keagamaan harus dianggap sebagai perbuatan yang dapat merusak kerukunan hidup beragama dalam masyarakat Indonesia, dan karena itu harus dilarang dan diancam pidana.


Pasal 339

Cukup jelas.


Pasal 340

Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar pemeluk agama yang dianut di Indonesia menjadi tidak beragama.


Pasal 341

Perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal ini diancam pidana lebih berat daripada perbuatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 336, karena secara langsung dapat menimbulkan benturan dalam dan di antara kelompok masyarakat.


Pasal 342

Seorang atau umat yang sedang menjalankan ibadah atau seorang petugas agama yang sedang melakukan tugasnya harus dihormati. Karena itu, perbuatan mengejek atau mengolok-olok hal tersebut patut dipidana karena melanggar asas hidup bermasyarakat yang menghormati kebebasan memeluk agama dan kebebasan dalam menjalankan ibadah, di samping dapat menimbulkan benturan dalam dan di antara kelompok masyarakat.


Pasal 343

Merusak, membakar, atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan dengan melawan hukum.


Pasal 344

Cukup jelas.


Pasal 345

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya banjir. Yang dimaksud dengan "bangunan untuk menahan air" misalnya bendungan atau pintu air, sedangkan "bangunan untuk menyalurkan air" misalnya selokan, saluran, atau kanal yang berfungsi menyalurkan air.


Pasal 346

Cukup jelas.


Pasal 347

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat dengan menggunakan bahan-bahan peledak. Perbuatan yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal ini dapat dinilai sebagai perbuatan persiapan untuk melakukan tindak pidana, oleh karena itu pembuat tindak pidananya sudah dapat dipidana.


Pasal 348

Cukup jelas.


Pasal 349

Cukup jelas.


Pasal 350

Membakar benda tidak bergerak, meskipun milik sendiri, seperti rumah atau kapal dalam ukuran tertentu yang menurut undangundang termasuk benda tidak bergerak, harus selalu dengan izin yang berwenang. Tujuannya untuk mencegah timbulnya kebakaran yang dapat merugikan, baik lingkungannya maupun fungsi sosial yang dipunyai oleh barang tersebut.


Pasal 351

Cukup jelas.


Pasal 352

Dalam keadaan mabuk seseorang tidak dapat sepenuhnya dapat menguasai atau mengontrol dirinya, oleh karena itu dalam keadaan yang sedemikian seseorang dilarang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.


Pasal 353

Cukup jelas.


Pasal 354

Cukup jelas.


Pasal 355

Yang dimaksud dengan "bangunan listrik", lihat Pasal 180.


Pasal 356

Cukup jelas.


Pasal 357

Cukup jelas.


Pasal 358

Cukup jelas.


Pasal 359

"Bahaya" yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal ini adalah bahaya bagi lalu lintas umum kereta api. Oleh karena itu, kereta api yang khusus untuk mengangkut tebu ke pabrik kepunyaan suatu perusahaan perkebunan tidak termasuk dalam ketentuan pasal ini. Perbuatan yang dinilai membahayakan bagi lalu lintas umum kereta api dapat berupa memasang rintangan atau melepaskan paku-paku pada bantalan rel sehingga membahayakan bagi kereta yang melewatinya.


Pasal 360

Cukup jelas.


Pasal 361

Yang dimaksud dengan "ramburambu yang dipasang untuk keselamatan pelayaran" misalnya mercusuar, lentera laut, atau pelampung.


Pasal 362

Cukup jelas.


Pasal 363

Cukup jelas.


Pasal 364

Cukup jelas.


Pasal 365

Perbuatan yang dilarang dalam ketentuan Pasal ini harus dilakukan secara melawan hukum. Jika unsur ini dipenuhi tetapi mengakibatkan luka atau matinya seseorang, maka pidananya diperberat yakni pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.


Pasal 366

Cukup jelas.


Pasal 367

Yang dimaksud dengan "kenakalan terhadap orang" adalah perbuatan atau perilaku buruk pada seseorang yang menimbulkan perasaan tidak senang pada orang lain, sedang "kenakalan terhadap barang’, misalnya mencoratcoret tembok rumah orang lain.


Pasal 368

Cukup jelas.


Pasal 369

Cukup jelas.


Pasal 370

Cukup jelas.


Pasal 371

Cukup jelas.


Pasal 372

Cukup jelas.


Pasal 373

huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Yang dimaksud dengan "kode akses" adalah yang dikenal dengan password.


Pasal 374

Cukup jelas.


Pasal 375

Huruf a
Yang dimaksud dengan "menghasut binatang" misalnya menyuruh atau memerintahkan seekor anjing untuk mengejar orang lain. Binatang tersebut tidak harus kepunyaan sendiri, tetapi bisa juga kepunyaan orang lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.


Pasal 376

Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya bahaya maupun gangguan lainnya bagi lalu lintas umum.


Pasal 377

Cukup jelas.


Pasal 378

Cukup jelas.


Pasal 379

Cukup jelas.


Pasal 380

Cukup jelas.


Pasal 381

Yang dimaksud dengan "kelengkapan air minum untuk umum" adalah bangunan yang diperlukan untuk penyaluran air minum, misalnya menara air, pipa saluran, bakbak, atau tangkitangki penyimpanan air minum untuk umum.


Pasal 382

Cukup jelas.


Pasal 383

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah pencemaran lingkungan, khususnya tanah, udara, dan air-permukaan yang penting bagi kehidupan manusia. Ketentuan dalam Pasal ini pada saat sekarang semakin penting berhubung semakin rusaknya dan tercemarnya lingkungan sampai pada bocornya lapisan ozon yang membahayakan bagi kesehatan dan nyawa manusia. Yang dimaksud dengan "air-permukaan" adalah yang lazim dikenal sebagai "surface water atau oppervlakte water" yang meliputi sungai, parit, danau, waduk, telaga, tambak, dan sebagainya.


Pasal 384

Cukup jelas.


Pasal 385

Yang dimaksud dengan "bahan" tidak saja bahan makanan, tetapi juga meliputi kosmetika, pembersih rumah tangga, dan lain sebagainya.


Pasal 386

Cukup jelas.


Pasal 387

Ketentuan dalam Pasal ini bertujuan untuk mencegah beredarnya makanan dan minuman yang dapat merusak kesehatan.


Pasal 388

Cukup jelas.


Pasal 389

Cukup jelas.


Pasal 390

Seperti halnya dengan terorisme, perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal ini juga telah dijadikan salah satu tindak pidana internasional berdasarkan konvensi internasional Convention on the Prevention and Punishment of The Crime of Genocide (9 Desember 1948). Karena Indonesia merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, maka melalui ketentuan dalam pasal ini ditetapkan perbuatan "genocide" sebagai tindak pidana.
Perbuatan yang dilarang dalam ketentuan ini adalah suatu perbuatan yang semata-mata bertujuan meniadakan eksistensi suatu kelompok masyarakat berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau cacat mental atau fisik. Oleh karena itu, perbuatan yang bertujuan untuk mengasimilasikan kelompok tersebut ke dalam masyarakat Indonesia, seperti melalui pendidikan, pembinaan, dan lain-lain, sebagai usaha meningkatkan taraf hidup agar mereka dapat berperan secara wajar dalam kehidupan masyarakat pada umunya, tidak termasuk dalam ketentuan ini.


Pasal 391

Cukup jelas.


Pasal 392

Cukup jelas.


Pasal 393

Cukup jelas.


Pasal 394

Cukup jelas.


Pasal 395

Cukup jelas.


Pasal 396

Cukup jelas.


Pasal 397

Cukup jelas.


Pasal 398

Cukup jelas.


Pasal 399

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan nama Torture. Tindak pidana ini sudah menjadi salah satu tindak pidana internasional melalui konvensi internasional Convention against Torture and other Cruel, In Human or Degrading Treatment or Punishment, 10 December 1984. Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998, oleh karena itu perbuatan tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.
Perbuatan yang dilarang disini adalah suatu perbuatan yang tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan berat bagi seseorang baik secara fisik maupun mental.
Tidak termasuk dalam perbuatan tersebut di atas adalah penderitaan yang timbul sebagai konsekuensi pelaksanaan pidana yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 400

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini.


Pasal 401

Cukup jelas.


Pasal 402

Ketentuan dalam Pasal ini merupakan tindak pidana suap atau penyuapan dalam pengertian aktif. Perbuatan yang dipidana menurut ketentuan dalam Pasal ini apabila pembuat tindak pidana benar-benar mengetahui bahwa yang diberi sesuatu atau yang dijanjikan sesuatu adalah pegawai negeri.


Pasal 403

Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal ini merupakan salah satu tindak pidana terhadap penyelengggaraan peradilan (contempt of court). Yang dimaksud dengan "hakim" adalah hakim pada semua lingkungan pengadilan.


Pasal 404

Cukup jelas.


Pasal 405

Yang dimaksud dengan "memaksa" adalah melakukan tekanan terhadap seseorang agar berbuat sesuatu yang sebetulnya perbuatan itu tidak akan dilakukan kalau tidak ada tekanan. Orang yang dipaksa dalam ketentuan Pasal ini adalah pegawai negeri.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan dalam jabatan" adalah perbuatan yang dilakukan sesuai dengan tugas jabatan yang dilimpahkan kepadanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 406

Perlawanan yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal ini, dilakukan tidak saja terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan tugas yang sah, melainkan juga terhadap orang yang membantu, meskipun bukan pegawai negeri.


Pasal 407

Cukup jelas.


Pasal 408

Cukup jelas.


Pasal 409

Cukup jelas.


Pasal 410

Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "mencegah" adalah berusaha agar pegawai negeri yang bersangkutan tidak sempat bertindak. Apabila pegawai negeri tersebut sudah bertindak dan dicegah untuk melanjutkan tindakannya, maka hal ini disebut menghalang-halangi.
Yang dimaksud dengan "menggagalkan" adalah meniadakan hasil tindakan yang telah dilakukan pegawai negeri yang bersangkutan.
Tindak pidana dalam ketentuan pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court). Yang dimaksud dengan "sidang pengadilan" adalah sidang pengadilan yang berlangsung di semua tingkatan pengadilan, baik yang tertutup maupun terbuka.


Pasal 411

Cukup jelas.


Pasal 412

Cukup jelas.


Pasal 413

Tindak pidana dalam ketentuan pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court).
Tidak mau (menolak) memenuhi perintah pejabat yang berwenang untuk menyerahkan suratsurat yang dianggap palsu atau dipalsukan, sedangkan suratsurat tersebut diperlukan dalam proses peradilan untuk alat pembuktian, baik perkara pidana maupun perkara perdata, dianggap sebagai pebuatan yang mengganggu penyelenggaraan peradilan.


Pasal 414

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court). Dengan mengabaikan panggilan atau menolak untuk memberikan keterangan yang diminta pengadilan, atau memberi keterangan yang tidak benar, maka tindakan tersebut dinilai mengganggu kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.


Pasal 415

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court). Menggunakan hak yang diketahuinya bahwa hak tersebut telah dicabut berdasarkan putusan pengadilan, dianggap sebagai perbuatan yang mengganggu penyelenggaraan peradilan karena tidak memenuhi putusan pengadilan tersebut.


Pasal 416

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini adalah melalaikan kewajiban setiap orang membantu tercapainya keadilan, khususnya yang berkaitan dengan pengampuan dan perwalian.


Pasal 417

Adalah kewajiban setiap orang untuk membantu kekuasaan umum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti adanya bahaya bagi keamanan umum atau pada waktu seseorang tertangkap tangan melakukan tindak pidana, dan sebagainya. Karena itu, perbuatan tidak membantu padahal perbuatan itu tidak akan membahayakan dirinya patut dicela.


Pasal 418

Cukup jelas.


Pasal 419

Cukup jelas.


Pasal 420

Ketentuan dalam Pasal ini merupakan tindak pidana yang dikenal sebagai pelaporan atau pengaduan palsu. Yang diadukan atau dilaporkan adalah terjadinya tindak pidana, bukan perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana.


Pasal 421

Yang dimaksud dengan "tanda kepangkatan atau jabatan" adalah tanda kepangkatan atau jabatan baik sipil maupun militer.


Pasal 422

Yang dimaksud "tanda kebesaran" adalah yang berhubungan dengan pangkat atau jabatan dalam kekuasaan umum, baik sipil maupun militer.


Pasal 423

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court) sepanjang dalam perbuatan tersebut tersangkut proses peradilan


Pasal 424

Cukup jelas.


Pasal 425

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi pekerjaan Kantor Pos dan Telekomunikasi yang mendapatkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan "surat" misalnya kartu pos, warkat pos, surat cetakan, atau telegram.


Pasal 426

Yang dimaksud dengan "tentara asing" ialah tentara resmi dari negara asing atau tentara yang akan memberontak terhadap negara asing tersebut.


Pasal 427

Cukup jelas.


Pasal 428

Cukup jelas.


Pasal 429

Mengangkut ternak dari satu tempat ke tempat yang lain, yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku diwajibkan menggunakan surat jalan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah diangkutnya ternak curian, ternak yang sakit atau mencegah timbulnya penyakit pada ternak lain atau pada manusia yang mengkonsumsikan daging ternak tersebut.


Pasal 430

Cukup jelas.


Pasal 431

Yang dimaksud dengan "membuat salinan" termasuk memfotokopi dan sebagainya sesuai dengan kemajuan teknologi.


Pasal 432

Ayat (1)
Disamakan dengan "sumpah" adalah janji atau pernyataan yang menguatkan sesuatu yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan sebagai pengganti sumpah.
Ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam Pasal ini harus diketahui oleh orang yang memberi keterangan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 433

Ketentuan Pasal 433 sampai dengan Pasal 439 merupakan tindak pidana internasional. Oleh karena itu, uang yang dipalsu atau ditiru menurut ketentuan pasal ini tidak hanya mata uang atau uang kertas Indonesia, tetapi juga uang negara asing. Hal ini didasarkan Konvensi Internasional mengenai Uang palsu tahun 1929 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokolnya.


Pasal 434

Orang yang mengedarkan uang palsu dengan tidak mengetahui tentang kepalsuannya tidak dapat dipidana.


Pasal 435

Yang dimaksud dengan "mengurangi nilai mata uang" misalnya dengan mengikir mata uang emas atau mata uang perak.


Pasal 436

Cukup jelas.


Pasal 437

Orang yang dikenakan ketentuan dalam Pasal ini ialah orang yang mengetahui bahwa uang tersebut palsu atau dipalsukan baik pada saat menerima uang tersebut atau pun bebeberapa saat setelah itu, dan kemudian tetap mengedarkannya.


Pasal 438

Yang dipidana bukan hanya orang yang meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang, akan tetapi juga orang yang melakukan perbuatan membuat atau menyediakan bahan atau benda, yang diketahuinya bahwa bahan atau benda tersebut akan digunakan untuk meniru, memalsu, atau mengurangi nilai uang yang resmi.


Pasal 439

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah diedarkannya di Indonesia barang yang menyerupai mata uang. Menyimpan atau memasukkan benda semacam itu ke Indonesia hanya diperbolehkan apabila ada izin dan apabila nyatanyata dipergunakan untuk perhiasan, misalnya dalam bentuk kalung atau gelang atau sebagai tanda kenangkenangan.


Pasal 440

Cukup jelas.


Pasal 441

Cukup jelas.


Pasal 442

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi meterai yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia agar tidak ditiru atau dipalsu. Terjadinya peniruan atau pemalsuan akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan terhadap meterai Indonesia dan mengurangi pendapatan negara dari pengeluaran meterai. Yang dimaksud dengan "meterai" ialah perangko, meterai tempel, meterai pajak televisi, dan jenis materai lainnya.


Pasal 443

Cukup jelas.


Pasal 444

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menjamin keabsahan atau keaslian dari cap negara atau tanda keahlian dari pembuat tindak pidananya yang diperintahkan oleh ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku yang dibubuhkan kepada barang emas atau perak tertentu. Dengan demikian, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi barang tersebut dari usaha pemalsuan yang akan merugikan konsumen.


Pasal 445

Untuk menjamin keabsahan dan ketepatan ukuran, takaran, atau timbangan yang dipergunakan dalam perdagangan, maka terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan barang yang digunakan untuk mengukur, menakar dan menimbang (termasuk kelengkapannya) ditera oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Kewajiban tera ini untuk mencegah terjadinya praktek perdagangan yang tidak sehat yang akan merugikan konsumen. Ketentuan dalam Pasal ini dimasudkan untuk mencegah terjadinya pemalsuan atas tera tersebut.


Pasal 446

Cukup jelas


Pasal 447

Pembatalan tanda tera dilakukan oleh Kantor Metrologi dan dengan pembatalan tersebut barang yang bersangkutan tidak dapat dipakai lagi oleh pemiliknya.


Pasal 448

Cukup jelas


Pasal 449

Cukup jelas


Pasal 450

Cukup jelas.


Pasal 451

Cukup jelas.


Pasal 452

Yang dimaksud dengan "surat" adalah semua gambaran dalam pikiran yang diwujudkan dalam perkataan yaitu yang dituangkan dalam tulisan baik tulisan tangan maupun melalui mesin, termasuk juga antara lain salinan, hasil fotokopi, faximile atas surat tersebut. Surat yang dipalsu harus dapat:
a. menimbulkan suatu hak, seperti ijazah, karcis tanda masuk, atau saham;
b. menimbulkan suatu perikatan, seperti perjanjian kredit, jual beli, sewa menyewa;
c. menerbitkan suatu pembebasan utang; atau
d. dipergunakan sebagai bukti bagi suatu perbuatan atau peristiwa, seperti buku tabungan, surat tanda kelahiran, surat angkutan, buku kas, dan lain-lain.


Pasal 453

Surat-surat yang dimaksud dalam Pasal ini sifatnya lebih penting daripada surat pada umumnya, oleh karena itu ancaman pidananya lebih berat daripada ancaman pada perbuatan yang diatur dalam Pasal 452.


Pasal 454

Cukup jelas.


Pasal 455

Cukup jelas.


Pasal 456

Cukup jelas.


Pasal 457

Ketentuan dalam Pasal ini memuat ancaman pidana kepada dokter yang memberikan surat keterangan palsu, sedangkan ketentuan dalam Pasal 458 memuat ancaman pidana kepada siapa saja yang membuat palsu atau memalsukan surat keterangan dokter dengan maksud memperdayakan kekuasaan umum atau perusahaan asuransi.


Pasal 458

Lihat penjelasan Pasal 457.


Pasal 459

Perbuatan yang dilarang dalam ketentuan Pasal ini melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang keimigrasian.


Pasal 460

Cukup jelas.


Pasal 461

Cukup jelas.


Pasal 462

Cukup jelas.


Pasal 463

Yang dimaksud dengan "perbuatan membuat gelap asal-usul orang" adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga asalusul seseorang menjadi tidak jelas, misalnya menukar anak, memungut anak dikatakan anaknya sendiri, atau menyembunyikan identitas kelahiran anak.


Pasal 464

Yang dimaksud dengan "perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah" adalah adalah perkawinan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mencegah atau membatalkan perkawinan berikutnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang terikat oleh perkawinan tersebut sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Pasal 465

Yang dimaksud dengan "penghalang yang sah" adalah ketentuan persyaratan perkawinan yang harus dipenuhi untuk dilangsungkannya suatu perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Pasal 466

Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" dalam Pasal ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pencatatan kelahiran dan kematian.


Pasal 467

Cukup jelas.


Pasal 468

Huruf a
Yang dimaksud dengan "di muka umum" adalah menunjuk pada dapat dilihatnya perbuatan melanggar kesusilaan oleh orang lain. Jadi kemungkinan dapat dilihatnya perbuatan tersebut oleh orang lain merupakan suatu unsur tindak pidana ini. Oleh karena itu, kehadiran orang yang melihat itu sendiri di tempat dilakukannya perbuatan tersebut tidak menjadi syarat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "di muka orang lain" adalah perbuatan melanggar kesusilaan yang dilakukan di suatu tempat di hadapan orang lain tanpa adanya kemauan sendiri orang lain tersebut. Kehadiran orang lain tersebut di tempat terjadinya perbuatan itu merupakan suatu kenyataan.


Pasal 469

Cukup jelas


Pasal 470

Cukup jelas


Pasal 471

Cukup jelas.


Pasal 472

Cukup jelas.


Pasal 473

Cukup jelas.


Pasal 474

Cukup jelas.


Pasal 475

Cukup jelas.


Pasal 476

Cukup jelas


Pasal 477

Cukup jelas.


Pasal 478

Cukup jelas.


Pasal 479

Cukup jelas.


Pasal 480

Cukup jelas.


Pasal 481

Yang dimaksud dengan "alat untuk mencegah kehamilan" adalah setiap benda yang menurut sifat penggunaannya secara umum dapat mencegah kehamilan walaupun benda itu juga dapat digunakan untuk hal-hal lain. Pencegahan kehamilan dapat terjadi baik selama atau setelah dilakukannya hubungan badan.
Perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini adalah perbuatan mempertunjukkan, menawarkan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh sarana untuk mencegah kehamilan. Perbuatan mempertunjukkan dapat dipidana bilamana dilakukan secara terang-terangan, sedang perbuatan menawarkan atau menunjukkan untuk dapat memperoleh sarana tersebut, dapat dilakukan secara terang-terangan atau tidak secara terang-terangan tapi perbuatan tersebut dilakukan tanpa diminta. Dengan demikian, apabila perbuatan itu dilakukan untuk memenuhi permintaan, bukan suatu tindak pidana.
Perbuatan menunjukkan untuk dapat memperoleh sarana pencegahan kehamilan, bersifat umum, dan tidak selalu hanya menunjuk pada tempat memperoleh sarana tersebut.


Pasal 482

Yang dimaksud dengan "alat untuk untuk meggugurkan kandungan" adalah setiap benda yang menurut sifat penggunaannya secara umum dapat menggugurkan kandungan.
Adapun mengenai perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam Pasal 481.


Pasal 483

Cukup jelas.


Pasal 484

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai tindak pidana permukahan, dengan tidak membedakan antara mereka yang telah kawin dan yang belum kawin. Begitu pula tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan tindak pidana tersebut.


Pasal 485

Cukup jelas.


Pasal 486

Ketentuan dalam Pasal ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah "kumpul kebo".


Pasal 487

Cukup jelas.


Pasal 488

Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal ini dikenal dengan "perbuatan sumbang (incest)".


Pasal 489

Cukup jelas


Pasal 490

Yang dimaksud dengan "perbuatan cabul" adalah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam kaitannya dengan nafsu birahi.
Tindak pidana menurut Pasal ini tidak hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.


Pasal 491

Cukup jelas


Pasal 492

Cukup jelas


Pasal 493

Cukup jelas


Pasal 494

Tindak pidana menurut ketentuan dalam Pasal ini adalah perbuatan menggerakkan seseorang yang belum dewasa, belum kawin, dan berkelakuan baik untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul. Cara untuk menggerakkan seseorang tersebut adalah dengan memberi hadiah atau berjanji akan memberi hadiah, dan dengan cara tersebut pembuat tindak pidana menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau menyesatkan orang tersebut.


Pasal 495

Ayat (1)
Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan pasal ini dikenal dengan "perbuatan sumbang (incest)".
Ayat (2) dan (3)
Tindak pidana yang diatur dalam dalam ketentuan Pasal ini pada dasarnya sama dengan perbuatan cabul atau persetubuhan yang diatur dalam pasal terdahulu. Namun perbuatan cabul atau persetubuhan yang diatur dalam ketentuan Pasal ini dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan pembuat tindak pidana.


Pasal 496

Cukup jelas


Pasal 497

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberantas tempat-tempat pelacuran.


Pasal 498

Termasuk tindak pidana ini adalah mengirimkan laki-laki yang belum dewasa itu atau perempuan ke daerah lain atau keluar negeri guna melakukan pelacuran atau perbuatan lain yang melanggar kesusilaan.


Pasal 499

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "alasan atau indikasi medis" adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kesehatan.


Pasal 500

Cukup jelas.


Pasal 501

Yang dimaksud dengan "anak yang ada di bawah kekuasaannya yang sah" adalah anak kandung, anak tiri, anak angkat, atau anak yang berada di bawah pengawasannya, atau anak yang dipercayakan untuk diasuh, dididik, atau dijaga.


Pasal 502

Cukup jelas.


Pasal 503

Cukup jelas.


Pasal 504

Cukup jelas.


Pasal 505

Cukup jelas.


Pasal 506

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini, hakim harus meneliti tiap-tiap kejadian, apakah hubungan antara tertuduh dan orang yang berada dalam keadaan terlantar memang dikuasai oleh hukum atau perjanjian yang mewajibkan tertuduh memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang yang terlantar tersebut.


Pasal 507

Cukup jelas.


Pasal 508

Ketentuan dalam Pasal ini memuat peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan.


Pasal 509

Cukup jelas.


Pasal 510

Ketentuan dalam Pasal ini menunjukkan adanya kewajiban setiap orang menyelamatkan jiwa orang lain dari bahaya maut, sepanjang pertolongan itu tidak membahayakan dirinya atau orang lain.


Pasal 511

Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini memuat ketentuan dasar (umum) tindak pidana yang termasuk kategori penghinaan dalam Bab ini. Yang dimaksud dengan perbuatan "penghinaan" adalah menyerang kehormatan atau nama baik orang lain.
Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan dengan cara menuduh, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan gambar, yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga merugikan orang tersebut. Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu tindak pidana. Tindak pidana menurut ketentuan dalam Pasal ini objeknya adalah orang perseorangan. Penistaan terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk ketentuan Pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut ditiadakan karena adanya alasan pemaaf yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau terpaksa karena membela diri.


Pasal 512

Dalam hal pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran dari apa yang dituduhkan, tetapi ia tidak dapat membuktikan bahwa yang dituduhkan itu benar, maka pembuat tindak pidana dipidana sebagai pemfitnahan.
Pembuktian kebenaran tuduhan hanya dibolehkan apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran bahwa terdakwa melakukan perbuatan itu untuk kepentingan umum, atau karena terpaksa membela diri. Juga dibolehkan membuktikan kebenaran tuduhan itu apabila yang dituduh adalah seorang pegawai negeri dan yang dituduhkan berkenaan dengan menjalankan tugasnya.


Pasal 513

Jika orang yang dihina, yaitu yang dituduh telah melakukan sesuatu perbuatan, dan karenanya terserang kehormatan atau nama baiknya, dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ternyata memang bersalah atas hal yang dituduhkan, maka terhadap penuduh tidak boleh dilakukan pemidanaan karena fitnah.
Jika dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap orang yang dihina itu dibebaskan dari tuduhan, maka putusan itu dianggap sebagai suatu bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tidak benar.
Jika penuntutan pidana terhadap yang dihina telah dimulai karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah terhadap yang menuduhkan itu ditangguhkan sampai perkara pidana yang dihina mendapat putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.


Pasal 514

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang penghinaan ringan, yaitu penghinaan yang dilakukan dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh terhadap orang lain. Penghinaan tersebut dilakukan dimuka umum dengan lisan atau tulisan, atau di muka orang yang dihina itu sendiri baik secara lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya.


Pasal 515

Cukup jelas


Pasal 516

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini disebut pengaduan fitnah. Harus dibuktikan bahwa pembuat mengetahui bahwa pengaduan tersebut tidak benar dan sifatnya menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengaduan atau pemberitahuan dilakukan secara tertulis atau menyuruh orang lain untuk menuliskan, dan tidak diharuskan ada tanda tangan pengadu. Dengan demikian, pengaduan atau pemberitahuan palsu dengan surat anonim, dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini.


Pasal 517

Tindak pidana dalam ketentuan pasal ini terjadi jika seseorang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan bahwa orang lain melakukan tindak pidana, sedangkan persangkaan tersebut tidak benar, misalnya, A meletakkan jam tangan milik C di dalam laci B dengan maksud agar B dituduh mencuri jam tangan milik C.


Pasal 518

Cukup jelas.


Pasal 519

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang penistaan atau penistaan tertulis yang dilakukan terhadap orang yang sudah mati. Jadi perbuatan tersebut ditujukan kepada seseorang yang sudah mati, yang sekiranya masih hidup perbuatan itu merupakan penistaan atau penistaan tertulis.
Tindak pidana ini merupakan tindak pidana aduan, dan pengaduannya hanya dapat diajukan oleh salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyamping sampai derajat kedua dari orang yang telah mati tersebut, atau oleh suami atau istrinya.


Pasal 520

Cukup jelas.


Pasal 521

Cukup jelas.


Pasal 522

Yang dimaksud dengan "rahasia" adalah segala sesuatu yang hanya boleh diketahui oleh orang yang berkepentingan sedangkan orang lain tidak boleh mengetahuinya. Untuk mengetahui bahwa siapa yang diwajibkan menyimpan rahasia harus diteliti peristiwa demi peristiwa sesuai dengan ketentuan hukum atau kebiasaan yang berlaku di lingkungan di mana terdapat kewajiban semacam itu. Misalnya kewajiban arsiparis untuk menyimpan rahasia berkas yang sifatnya rahasia, kewajiban dokter untuk merahasiakan pasien yang ditangani.Tindak pidana ini menjadi tindak pidana aduan jika dilakukan terhadap orang tertentu.


Pasal 523

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya persaingan tidak sehat dalam dunia usaha.


Pasal 524

Cukup jelas


Pasal 525

Cukup jelas


Pasal 526

Cukup jelas.


Pasal 527

Cukup jelas.


Pasal 528

Cukup jelas.


Pasal 529

Cukup jelas.


Pasal 530

Cukup jelas.


Pasal 531

Cukup jelas.


Pasal 532

Cukup jelas.


Pasal 533

Cukup jelas.


Pasal 534

Cukup jelas.


Pasal 535

Cukup jelas.


Pasal 536

Cukup jelas.


Pasal 537

Cukup jelas.


Pasal 538

Ketentuan dalam Pasal ini bukan merupakan delik penyertaan tetapi merupakan tindak pidana yang mandiri.


Pasal 539

Cukup jelas.


Pasal 540

Cukup jelas.


Pasal 541

Cukup jelas.


Pasal 542

Penculikan merupakan salah satu bentuk tindak pidana menghilangkan kemerdekaan seseorang. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, perampasan kemerdekaan dalam penculikan tidak dimaksudkan untuk memperdagangkan orang, tetapi secara melawan hukum untuk menempatkan orang tersebut di bawah kekuasaannya atau menyebabkan orang tersebut tidak berdaya.


Pasal 543

Penyanderaan merupakan salah satu bentuk tindak pidana menghilangkan kemerdekaan seseorang. Berbeda dengan penculikan, penyanderaan dilakukan agar orang yang disandera tetap berada ditempat kediamannya atau di tempat lain, dan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.


Pasal 544

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini pada dasarnya bersifat penipuan, tetapi karena menyangkut perampasan kemerdekaan seseorang maka ancaman pidananya lebih berat daripada penipuan.


Pasal 545

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang belum dewasa yang telah mendapatkan perlindungan hukum. Misalnya anak yang ditempatkan di panti asuhan, apabila mereka dilarikan, maka pembuat tindak pidana dapat dipidana. Jika perbuatan tersebut dipergunakan dengan cara tipu muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau terhadap anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun maka ancaman pidana diperberat.


Pasal 546

Ketentuan dalam Pasal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 545 yaitu seorang anak yang di bawah umur 18 (delapan belas) tahun telah ditarik dari kekuasaan atau pengawasan yang sah, kemudian disembunyikan atau disembunyikan terhadap kepentingan penyidikan oleh pejabat yang berwenang.


Pasal 547

Ayat (1)
Pengertian "membawa pergi perempuan" atau "melarikan perempuan (schaking)" dalam ketentuan pasal ini berbeda dengan "penculikan" (kidnapping) Pasal 542 dan "penyanderaan" (taking hostage) Pasal 543. Tindakan membawa pergi perempuan umurnya terjadi antara laki-laki (yang melarikan) dan perempuan (yang dilarikan) berkaitan dengan hubungan cinta, dan karena itu perbuatan tersebut dilakukan atas persetujuan pihak perempuan.
Unsur tindak pidana dalam ayat ini dikaitkan dengan usia yang belum dewasa dari perempuan yang dibawa pergi. Di samping unsur di bawah umur, yang perlu diperhatikan yaitu yang bersangkutan masih berada dalam pengawasan orang tua atau walinya.
Ayat (2)
Unsur tindak pidana dalam ketentuan ayat ini tidak dikaitkan dengan usia perempuan yang dibawa lari, masih belum dewasa atau masih di bawah umur, baik dalam status perkawinan ataupun tidak, tetapi jika perempuan tersebut dilarikan dengan tipu muslihat, kekerasan atau dengan ancaman kekerasan, maka ancaman pidananya lebih berat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas


Pasal 548

Perampasan kemerdekaan yang dimaksud dalam Pasal ini baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" adalah perbuatan merampas kebebasan seseorang bukan dalam rangka menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan perintah Undang-undang. Misalnya, seorang polisi yang menangkap dan menahan seseorang dalam hal kedapatan tertangkap tangan melakukan tindak pidana.


Pasal 549

Cukup jelas.


Pasal 550

Cukup jelas.


Pasal 551

Ketentuan tindak pidana dalam Pasal ini diklafikasikan sebagai tindak pidana pemerasan yang menyangkut perampasan kemerdekaan. Pemerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai bentuk ancaman.


Pasal 552

Cukup jelas.


Pasal 553

Ayat (1)
Pembunuhan selalu diartikan bahwa korban harus mati, dan kematian ini dikehendaki oleh pembuat. Dengan demikian pengertian pembunuhan secara implisit mengandung unsur kesengajaan. Apabila tidak ada unsur kesengajaan atau tidak ada niat atau maksud untuk mematikan orang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut mati, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pembunuhan menurut pasal ini.
Dalam ketentuan ayat ini tidak dicantumkan unsur "dengan sengaja" atau "dengan berencana", karena kedua hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 52 huruf j. Ditiadakannya tindak pidana berencana dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada hakim dalam mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana tersebut dalam setiap kasus yang dihadapi. Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan motif, cara, sarana, atau upaya membunuh, serta akibat dan dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat.
Ayat (2)
Pemberatan pidana dalam ketentuan ayat ini didasarkan pada pertimbangan adanya hubungan antara pembuat tindak pidana dan korban, yang seharusnya pembuat tindak pidana berkewajiban memberi perlindungan kepada korban.
Ayat (3)
Cukup jelas


Pasal 554

Cukup jelas.


Pasal 555

Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini memuat peringanan ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut seorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu penderitaan.
Ayat (2)
Kerena orang lain yang turut serta dalam pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berada dalam kondisi psikologik yang sama dengan kondisi seorang ibu yang melakukan tindak pidana tersebut, maka dalam prinsip penyertaan tidak berlaku dalam ketentuan ayat ini.


Pasal 556

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tindak pidana yang dikenal dengan "euthanasia aktif". Bentuk "euthanasia pasif'" tidak diatur dalam ketentuan ini karena masyarakat maupun dunia kedokteran tidak menganggap pembuatan tersebut sebagai perbuatan anti.
Meskipun "euthanasia aktif" dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, namun perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana. Hal ini berdasarkan suatu pertimbangan karena perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan moral agama. Di samping itu juga untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki, misalnya oleh pembuat tindak pidana justru diciptakan suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga timbul permintaan untuk merampas nyawa dari yang bersangkutan.
Ancaman pidana di sini tidak ditujukan terhadap kehidupan seseorang, melainkan ditujukan terhadap penghormatan kehidupan manusia pada umumnya, meskipun dalam kondisi orang tersebut sangat menderita, baik jasmani maupun rohani. Jadi motif pembuat tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam tindak pidana. Pengertian "tidak sadar" dalam ketentuan Pasal ini harus diartikan sesuai dengan perkembangan dalam dunia kedokteran.


Pasal 557

Ketentuan ini merupakan pemberatan dari Pasal 556.


Pasal 558

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini maka apabila orang yang didorong atau yang ditolong untuk bunuh diri tidak mati, maka orang yang mendorong atau memberi pertolongan tersebut tidak dikenakan pidana. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa bunuh diri itu sendiri bukanlah suatu tindak pidana, karena itu percobaan untuk melakukan bunuh diri juga tidak diancam dengan pidana.


Pasal 559

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kandungan seorang perempuan. Apabila yang digugurkan adalah kandungan yang sudah mati, maka ketentuan pidana dalam pasal ini tidak berlaku. Tidaklah relevan di sini untuk menentukan cara dan sarana apa yang digunakan untuk mengugurkan atau mematikan kandungan perempuan itu. Yang penting dan yang menentukan adalah akibat yang ditimbulkan, yaitu gugur atau matinya kandungan itu.


Pasal 560

Cukup jelas.


Pasal 561

Ketentuan dalam Pasal ini secara khusus mengancam pidana yang lebih berat kepada pembuat yang mempunyai profesi sebagai dokter, bidan, atau juru obat, mengingat profesi mereka sedemikian mulya bagi kemanusian yang seharusnya tetap dijaga untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena alasan media "abortus provocatus" sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan pidana.


Pasal 562

Cukup jelas.


Pasal 563

Ketentuan dalam Pasal ini tidak memberi perumusan mengenai pengertian penganiayaan. Hal ini diserahkan kepada penilaian hakim untuk memberikan interpretasi terhadap kasus yang dihadapi sesuai dengan perkembangan nilai-nial sosial dan budaya serta perkembangan dunia kedokteran. Ini berarti bahwa pengertian penganiayaan tidak harus berarti terbatas pada penganiayaan fisik dan sebaliknya tidak setiap penderitaan pisik selalu diartikan sebagai penganiayaan.
Dalam ketentuan Pasal ini juga tidak dicantumkan unsur "dengan sengaja" dan "berencana", karena kedua hal tersebut sudah diatur dalam Pasal 36 dan Pasal 52 huruf j dalam rangka pemberatan pidana.


Pasal 564

Cukup jelas.


Pasal 565

Tindak pidana penganiayaan dalam ketentuan Pasal ini merupakan jenis penganiayaan berat, di samping penganiayaan dalam arti umum (Pasal 563) dan penganiayaan ringan (Pasal 564). Batas dan ruang lingkup ketiga jenis penganiayaan ini diserahkan kepada pertimbangan hakim, dengan memperhatikan penjelasan Pasal 563.


Pasal 566

Cukup jelas.


Pasal 567

Cukup jelas.


Pasal 568

Cukup jelas.


Pasal 569

Cukup jelas.


Pasal 570

Cukup jelas.


Pasal 571

Cukup jelas.


Pasal 572

Cukup jelas.


Pasal 573

Ketentuan dalam Pasal ini tidak memberi perumusan mengenai pengertian kealpaan. Pada umumnya pengertian kealpaan menunjukkan bahwa pembuat tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya, yaitu kematian atau luka-luka. Namun, dalam kejadian konkret terdapat kesulitan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan dapat disebut dengan kealpaan. Misalnya seorang yang sedang mengendarai kendaraan sedemikian rupa sehingga membahayakan lalu lintas umum yang kemungkinan besar menimbulkan korban.
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut pengertian kealpaan diserahkan kepada pertimbangan hakim untuk melakukan penilaian terhadap kasus yang dihadapi.


Pasal 574

Dari jabatan atau profesi tertentu diharapkan adanya rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas atau pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka. Dengan perkataan lain, kealpaan harus dihindarkan oleh orang yang menjalankan tugas atau pekerjaan secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, bila terjadi suatu kealpaan maka ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 ( satu per tiga).


Pasal 575

Pengertian "mengambil" dalam ketentuan Pasal ini tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga meliputi bentuk-bentuk perbuatan "mengambil" lainnya secara fungsional (nonfisik) mengarah pada maksud "memiliki barang orang lain secara melawan hukum". Misalnya pencurian uang dengan cara mentransfer, atau menggunakan tenaga listrik tanpa hak. Yang dimaksud "memiliki" adalah mempunyai hak atas barang tersebut.


Pasal 576

Cukup jelas.


Pasal 577

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur pencurian yang bersifat khusus atau yang biasa dikenal dengan istilah "pencurian dikualifikasi" (gequalificeerdediefstal).
Yang dimaksud dengan "rumah" adalah setiap bangunan atau tempat yang sengaja dibuat atau digunakan untuk tempat kediaman atau tempat tinggal.
Yang dimaksud dengan "pekarangan tertutup" adalah sebidang tanah yang mempunyai tanda-tanda batas tertentu, baik berupa tembok, pagar, tumpukan batu, tumbuh-tumbuhan, saluran air, atau sungai.


Pasal 578

Cukup jelas.


Pasal 579

Tindak pidana pencurian dalam Pasal ini dikualiffikasi sebagai pencurian dengan pemberatan. Unsur pemberatnya ialah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang di dalam melakukan pencurian. Kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dilakukan sebelum, pada saat, atau setelah pencurian dilakukan.
Kekerasan menunjuk pada pengunaan kekuatan fisik, baik dengan tenaga badan maupun dengan menggunakan alat, sedangkan ancaman kekerasan menunjukan keadaan sedemikian rupa yang menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.
Penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan ini tidak perlu semata-mata ditujukan kepada pemilik barang, tetapi juga dapat pada orang lain, misalnya pembantu rumah tangga atau penjaga rumah.


Pasal 580

Cukup jelas.


Pasal 581

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur pencurian dalam keluarga. Pengertian "penguasaan bersama atas harta" dan "menguasai sendiri harta bendanya" menunjuk pada pengertian "harta kekayaan yang terpisah" dan "harta kekayaan yang tidak terpisah (bersama)" sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan yang berlaku bagi suami dan istri tersebut.

Yang dimaksud dengan "keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau kesamping sampai derajad kedua".

Pencurian yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaannya yang tidak terpisah, tidak dapat dilakukan penuntutan baik sebagai pelaku maupun pembantu pencurian. Apabila harta kekayaan suami istri terpisah, penuntutan dapat dilakukan apabila ada pengaduan terlebih dahulu dari yang terkena tindak pidana itu.
Pengertian "harta kekayaan yang terpisah dan yang tidak terpisah" harus diartikan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum perkawinan.


Pasal 582

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tindak pidana pemerasan. Paksaan dalam ketentuan pasal ini lebih bersifat paksaan fisik atau lahiriah, antara lain dengan todongan pisau atau pistol.
Kekerasan atau ancaman kekerasan tidak harus ditujukan pada orang yang diminta untuk memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang, tetapi dapat juga ditujukan pada orang lain, misalnya terhadap anak, atau istri atau suami.
Pengertian "memaksa" meliputi pemaksaan yang berhasil (misalnya barang diserahkan) maupun yang gagal. Dengan demikian, apabila pemerasan tidak berhasil atau gagal, pembuat tindak pidana tetap dituntut berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini, bukan dengan ketentuan mengenai percobaan.


Pasal 583

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang tindak pidana pengancaman.
Unsur utama tindak pidana dalam Pasal ini sama dengan tindak pidana pemerasan yaitu memaksa orang supaya memberikan barang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang. Perbedaannya terletak pada sarana pemaksaan yang digunakan. Pada pemerasan, paksaan lebih bersifat fisik dan lahiriah, sedangkan pada tindak pidana pengancaman sarana paksaannya lebih bersifat non fisik atau batiniah yaitu dengan menggunakan ancaman penistaan baik lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia. Ancaman penistaan atau membuka rahasia tidak harus berhubungan langsung dengan orang yang diminta untuk memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan piutang, tetapi dapat juga orang lain, misalnya terhadap anak, istri, atau suami, yang secara tidak langsung juga menyerang kehormatan atau nama baik yang bersangkutan.


Pasal 584

Cukup jelas.


Pasal 585

Cukup jelas.


Pasal 586

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tindak pidana penggelapan. Pada tindak pidana penggelapan, barang yang bersangkutan sudah dikuasai secara nyata oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berbeda dengan pencurian di mana barang tersebut belum berada di tangan pembuat tindak pidana. Saat timbulnya niat untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum, juga menentukan perbedaan antara penggelapan dan pencurian. Apabila niat memiliki sudah ada pada waktu barang tersebut diambil, maka perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pencurian, sedang pada penggelapan, niat memiliki tersebut baru ada setelah barang yang bersangkutan untuk beberapa waktu sudah berada di tangan pembuat. Unsur tindak pidana penggelapan lainnya adalah bahwa pembuat menguasai barang yang hendak dimiliki tersebut bukan karena tindak pidana, misalnya suatu barang yang berada dalam penguasaan pembuat tindak pidana sebagai jaminan utang piutang yang kemudian dijual tanpa izin pemiliknya.


Pasal 587

Cukup jelas.


Pasal 588

Cukup jelas.


Pasal 589

Penyerahan barang dilakukan secara terpaksa, misalnya pada waktu terjadi bencana alam seperti kebakaran, banjir, gempa bumi, dan lain-lain, barang tersebut dititipkan untuk diselamatkan. Atau karena tidak mampu mengurus sendiri barang tersebut, sehingga perlu dititipkan pada pihak lain.


Pasal 590

Cukup jelas.


Pasal 591

Cukup jelas.


Pasal 592

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang tindak pidana penipuan. Perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pembuat tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pembuat.
Barang yang diberikan, tidak harus secara langsung kepada pembuat tindak pidana tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain yang disuruh pembuat untuk menerima penyerahan itu.
Penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda. Tempat tindak pidana (lokus delikti) adalah tempat pembuat melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Saat dilakukannya tindak pidana (tempus delicti) adalah saat pembuat melakukan penipuan.
Barang yang diserahkan dapat merupakan milik pembuat sendiri, misalnya barang yang diberikan sebagai jaminan utang bukan untuk kepentingan pembuat. Penghapusan piutang tidak perlu dilakukan melalui cara-cara hapusnya perikatan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Juga termasuk misalnya perbuatan pembuat yang menghentikan untuk sementara pencatat kilometer (kilometer teller) mobil sewaannya, sehingga pemilik mobil memperhitungkan jumlah uang sewaan yang lebih kecil daripada yang sesungguhnya.
Pasal ini menyebut secara limitatif daya upaya yang digunakan pembuat yang menyebabkan penipuan itu dapat dipidana, yaitu berupa nama atau kedudukan palsu, penyalahgunaan agama, tipu muslihat dan rangkaian kata-kata bohong. Antara daya upaya yang digunakan dan perbuatan yang dikehendaki harus ada hubungan kausal, sehingga orang itu percaya dan memberikan apa yang diminta.


Pasal 593

Cukup jelas.


Pasal 594

Cukup jelas


Pasal 595

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari perbuatan curang dalam dunia perdagangan yang dilakukan oleh penjual. Dalam dunia perdagangan dapat terjadi penjual memberikan pengakuan palsu tentang sifat atau keadaan barang yang dijualnya atau tidak menyatakan dengan sebenarnya sifat atau keadaan barang tersebut, sehingga konsumen membeli suatu barang yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya.


Pasal 596

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari kerugian ekonomis melalui pemberian jasa kepada orang lain yang dilakukan akibat perbuatan curang dari orang lain tersebut. Misalnya, seseorang secara curang memanfaatkan kebaikan orang lain mempergunakan nomor dan saluran telepon dan membebankan biaya pembicaraan atau sambungan teleponnya kepada pelanggan telepon.


Pasal 597

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi perbuatan curang dalam dunia perdagangan yang dilakukan oleh konsumen, dengan tidak membayar lunas harga barang dibeli. Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini, perbuatan konsumen tersebut dilakukan secara berulang-ulang yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian atau kebiasaannya. Dalam masyarakat, perbuatan konsumen ini dikenal sebagai tindakan "mengemplang".


Pasal 598

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi hak milik intelektual seseorang dari perbuatan curang pihak lain, yang dilakukan dengan membubuhkan nama atau tanda palsu atau yang dipalsukan pada karya tersebut.


Pasal 599

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi hak milik intelektual khususnya mengenai merek dagang (trade mark) dari perbuatan curang.


Pasal 600

Ketentuan dalam Pasal ini untuk mencegah perbuatan curang dalam dunia asuransi yang dilakukan oleh pihak tertanggung dalam pembuatan perjanjian asuransi sehingga merugikan pihak penanggung asuransi (assuradeur).


Pasal 601

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini merupakan perbuatan curang untuk memperoleh pembayaran uang asuransi.


Pasal 602

Cukup jelas.


Pasal 603

Cukup jelas.


Pasal 604

Cukup jelas.


Pasal 605

Konosemen asli (lembar pertama) merupakan surat berharga dan dapat diperjualbelikan (negotiable), sedangkan salinan (copy) atau lembaran lainnya tidak. Hanya konosemen lembar pertama atau asli dapat ditukarkan dengan jenis barang yang tercantum di dalamnya.
Berhubung konosemen asli merupakan suatu surat berharga, maka konosemen asli itu dapat dibebani dengan segala bentuk hak atas benda, seperti digadaikan, dijual, dipinjamkan, atau ditukarkan. Salinan atau lembaran lainnya yang bukan surat berharga, tidak mempunyai nilai, sehingga apabila dijual, pembelinya tidak akan menerima barangnya, apabila perbuatan membebani salinan atau lembaran lainnya dengan hak-hak atas benda merupakan perbuatan penipuan.


Pasal 606

Cukup jelas.


Pasal 607

Cukup jelas.


Pasal 608

Cukup jelas.


Pasal 609

Cukup jelas.


Pasal 610

Cukup jelas.


Pasal 611

Yang dimaksud dengan "batas pekarangan" adalah setiap tanda yang dipergunakan untuk menunjukkan batas-batas suatu pekarangan, seperti tembok, pagar, patok, tumpukan batu, tumbuh-tumbuhan, saluran air, sungai, atau pematang sawah dengan tujuan memisahkan suatu bidang tanah milik seseorang dari bidang tanah milik orang lain yang berdampingan.


Pasal 612

Kabar bohong yang dimaksud dalam ketentuan Pasal ini tidak hanya pemberitahuan palsu tentang suatu fakta tetapi juga pemberitahuan palsu tentang suatu keuntungan yang dapat diharapkan.


Pasal 613

Cukup jelas.


Pasal 614

Cukup jelas.


Pasal 615

Cukup jelas.


Pasal 616

Cukup jelas.


Pasal 617

Cukup jelas.


Pasal 618

Cukup jelas.


Pasal 619

Yang dimaksud dengan "menarik barang dari harta benda milik perusahaan" adalah setiap perbuatan untuk menempatkan barang di luar jangkauan kurator sebelum atau pada waktu dijatuhkannya kepailitan, termasuk mendiamkan piutang perusahaan.
Yang dimaksud dengan "pailit" adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Kepailitan.


Pasal 620

Cukup jelas.


Pasal 621

Cukup jelas.


Pasal 622

Cukup jelas.


Pasal 623

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini, pembuat tindak pidana tidak disyaratkan mempunyai niat untuk merugikan kreditornya. Dianggap cukup apabila ia mengetahui atau mengerti bahwa perbuatannya akan merugikan hak-hak kreditor. Apabila kreditor lebih dari 1 (satu), tidak perlu perbuatan tersebut merugikan semua kreditor.


Pasal 624

Cukup jelas.


Pasal 625

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah suatu persetujuan perdamaian dibuat karena pembuat tindak pidana memperoleh keuntungan istimewa, padahal menurut Undang-undang, persetujuan tersebut kalau sudah disahkan berlaku juga untuk kreditor yang semula tidak menyetujuinya. Hal ini juga berlaku untuk pengurus atau komisaris dari suatu korporasi.


Pasal 626

Yang dimaksud dengan " barang" adalah barang bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Hak menahan (hak retensi) timbul berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pasal 1616 atau Pasal 1812 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


Pasal 627

Cukup jelas.


Pasal 628

Yang dimaksud dengan "menghancurkan" adalah membinasakan atau merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi.
Yang dimaksud dengan "merusak" adalah membuat tidak dapat dipakai untuk sementara waktu, artinya apabila barang itu diperbaiki maka dapat dipakai lagi.


Pasal 629

Cukup jelas.


Pasal 630

Yang termasuk dalam pengertian "bangunan untuk sarana dan prasarana pelayanan umum" misalnya, bangunan kereta api, bangunan listrik, bangunan telekomunikasi, bangunan untuk komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh lainnya, stasiun radio atau televisi, bendungan, saluran gas, atau saluran air minum.


Pasal 631

Cukup jelas


Pasal 632

Cukup jelas


Pasal 633

Cukup jelas


Pasal 634

Cukup jelas


Pasal 635

Cukup jelas


Pasal 636

Cukup jelas


Pasal 637

Yang dimaksud dengan "Komandan Tentara Nasional Indonesia" adalah komandan Angkatan Darat, Angkatan Laut, atau Angkatan Udara.
Yang dimaksud dengan "pejabat sipil" adalah pejabat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, dan peraturan pelaksanaannya.


Pasal 638

Demi penegakan hukum ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, perintah yang sah dari pejabat yang berwenang dan putusan atau surat perintah pengadilan, harus dilaksanakan. Perlawanan terhadap pelaksanaan ketentuan tersebut di atas, berarti melawan penegakan hukum, karena itu pantas untuk dijadikan tindak pidana. Dalam hal Tentara Nasional Indonesia menolak permintaan yang tidak sah, maka tindakan penolakan tersebut tidak dipidana.


Pasal 639

Yang dimaksud dengan "orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum" misalnya orang atau pihak swasta yang diserahi tugas oleh Pemerintah untuk melaksanakan tugas, antara lain pembuatan jalan, lembaga pendidikan swasta yang melakukan penelitian ilmiah bagi pemerintah, atau pihak bank swasta yang diserahi penyimpanan uang negara.


Pasal 640

Cukup jelas.


Pasal 641

Cukup jelas.


Pasal 642

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini disebut sebagai tindak pidana suap atau penyuapan dalam pengertian pasif. Tindak pidana suap yang bersifat aktif, lihat Pasal 402.
Menerima hadiah atau janji tidak hanya berupa barang tetapi juga jasa, kemudahan, atau fasilitas lainnya.
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.


Pasal 643

Cukup jelas.


Pasal 644

Tindak pidana dalam Pasal ini merupakan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court). Tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana suap atau penyuapan dalam pengertian pasif. Tindak pidana suap yang bersifat aktif, lihat Pasal 403.


Pasal 645

Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan kekuasaannya" adalah menggunakan kekuasaan secara tidak sah. Sebagai contoh adalah penyidik yang dalam melakukan penyidikan memaksa tersangka untuk mengaku, atau memaksa saksi memberikan keterangan menurut kemauan dari penyidik. Memaksa dapat juga dilakukan secara fisik maupun secara psikis dengan jalan menakut-nakuti supaya tertekan jiwanya. Tetapi apabila yang diperiksa itu seorang saksi yang memberikan keterangan yang nyata-nyata bertentangan dengan kenyataan dan penyidik tersebut memberikan peringatan keras atau menunjukkan akibat yang tidak baik atas keterangan saksi yang bohong tersebut, ketentuan dalam Pasal ini tidak diterapkan.


Pasal 646

Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" dalam Pasal ini adalah penyelidik, penyidik, atau penuntut umum.


Pasal 647

Pegawai negeri yang menyalahgunakan kekuasaannya menggunakan tanah negara adalah pegawai negeri yang mempunyai kewenangan dalam hal pengurusan dan penggunaan pemakaian tanah seperti Walikota, Bupati, Camat, Lurah/Kepala Desa, pejabat, atau pegawai Badan Pertanahan Nasional.


Pasal 648

Cukup jelas.


Pasal 649

Cukup jelas.


Pasal 650

Tindak pidana dalam Pasal ini lazim dinamakan sebagai permintaan paksa (knevelarij). Misalnya, seseorang diharuskan membayar atas sesuatu yang menyangkut tugas pegawai negeri, padahal keharusan sedemikian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada. Termasuk membayar adalah membayar lebih daripada yang ditentukan.


Pasal 651

Cukup jelas.


Pasal 652

Cukup jelas.


Pasal 653

Cukup jelas.


Pasal 654

Demi keamanan dan ketertiban, hal-hal yang berkaitan dengan terpidana atau orang yang ditahan harus berdasarkan putusan atau surat perintah penahanan yang sah. Demikian juga anak-anak yang dimasukkan dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak atau orang yang sakit jiwa yang dimasukkan dalam rumah sakit jiwa harus berdasarkan surat perintah yang sah.


Pasal 655

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi seseorang atas rumah tinggalnya, yang merupakan hak pribadi (privacy) seseorang hingga harus dilindungi, tidak boleh dimasuki orang lain tanpa izin dari penghuni rumah atau tanpa memperhatikan cara atau menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula memasuki tempat tertutup atau pekarangan tertutup yang dipakai orang. Pasal ini dikenakan hanya terhadap pegawai negeri dalam menjalankan tugasnya.
Pasal ini berlaku khusus bagi pegawai negeri dalam melakukan penggeledahan rumah atau membaca atau menyita surat dalam rangka penyidikan tindak pidana tanpa memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 656

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi rahasia surat-menyurat. Tidak termasuk tindak pidana ini, apabila perbuatan itu dilakukan oleh penyidik yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memerlukan surat-surat tersebut sebagai alat bukti dalam rangka penyidikan tindak pidana.


Pasal 657

Cukup jelas.


Pasal 658

Cukup jelas.


Pasal 659

Pengertian "memberitahukan kepada orang lain berita yang dipercayakan kepada kantor telegram atau kantor telepon" termasuk pula memberi kesempatan kepada orang lain ikut mendengarkan atau menyadap. Tidak termasuk tindak pidana ini, apabila perbuatan tersebut dilakukan karena terdapat kekeliruan atau ketidakjelasan nama atau alamat penerima surat telegram yang ditulis oleh pengirim.


Pasal 660

Cukup jelas.


Pasal 661

Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang mengawinkan" adalah pejabat sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya.


Pasal 662

Cukup jelas


Pasal 663

Cukup jelas.


Pasal 664

Cukup jelas.


Pasal 665

Cukup jelas.


Pasal 666

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.


Pasal 667

Cukup jelas.


Pasal 668

Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 666 dan Pasal 667 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.


Pasal 669

Cukup jelas.


Pasal 670

Cukup Jelas


Pasal 671

Cukup Jelas


Pasal 672

Cukup jelas.


Pasal 673

Cukup jelas.


Pasal 674

Cukup jelas.


Pasal 675

Ketentuan dalam Pasal ini mengenai perompakan atau pembajakan di laut bebas, artinya di luar wilayah negara Republik Indonesia atau di luar laut teritorial.
Yang dimaksud dengan "perompakan" adalah melakukan tindakan kekerasan terhadap orang atau barang yang berada di atas kapal.


Pasal 676

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 675, Pasal 703 sampai dengan Pasal 705 merupakan tindak pidana internasional, berarti pelaku tindak pidana tersebut dapat dituntut di negara manapun pelaku ditemukan asal negara tersebut menganut asas universalitas. Dengan demikian tidak dipersoalkan kewarganegaraan pelaku, demikian juga locus delicti dan nasionalitas kapal tersebut, karena tindak pidana tersebut dianggap mengganggu ketertiban dunia.
Dalam hal ini nakhoda atau pemimpin itu sendiri tidak melakukan kejahatan perompakan atau pembajakan, tetapi hanya menyerahkan kapal kepada bajak laut, untuk dipergunakan membajak. Meskipun merupakan tindak pidana yang berupa membantu, namun dijadikan tindak pidana tersendiri dengan pidana yang sama dengan tindak pidana perompakan itu sendiri.
Apabila yang menyerahkan bukan nakhoda atau pemimpin akan dipidana dengan pidana lebih rendah.


Pasal 677

Yang dimaksud dengan "orang yang berlayar" adalah semua orang yang turut berlayar dengan kapal Indonesia, kecuali nakhoda atau pemimpin.


Pasal 678

Yang dimaksud dengan "mengambil alih dari pemiliknya" adalah mengambil kapal dari kekuasaan pemiliknya secara tidak sah, misalnya dengan melarikan kapal tersebut dan mempergunakannya untuk kepentingan diri sendiri.


Pasal 679

Yang dimaksud dengan "surat keterangan kapal" adalah surat tentang pendaftaran kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas kecurangan terhadap surat keterangan kapal yang dilakukan oleh nakhoda atau pemimpin kapal atau awak kapal.


Pasal 680

Cukup jelas.


Pasal 681

Cukup jelas.


Pasal 682

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan mencegah pembuatan laporan palsu untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, misalnya seorang nahkoda kapal dengan sengaja menenggelamkan kapalnya, tetapi dalam laporannya dikatakan bahwa kapalnya telah mendapat kecelakaan dan tenggelam, karena itu mereka mendapat kesempatan untuk menerima pembayaran uang asuransi bagi kapal dan atau muatannya.


Pasal 683

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran.


Pasal 684

Cukup jelas.


Pasal 685

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur mengenai pemberontakan di kapal, yaitu perbuatan pembangkangan yang tercantum dalam Pasal 683, tetapi di sini dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu. Dalam Pasal ini juga ditentukan pemberatan pidana, mengingat akibat yang ditimbulkan.


Pasal 686

Cukup jelas.


Pasal 687

Cukup jelas.


Pasal 688

Yang dimaksud dengan "mengubah haluan kapal" adalah mengubah tujuan perjalanan atau menyinggahi pelabuhan yang tidak termasuk rencana pelayaran semula, atau tidak langsung menuju pelabuhan yang telah ditentukan sebelumnya sebagai pelabuhan tujuan.


Pasal 689

Kapal dapat diambil alih, dihentikan, atau ditahan oleh pejabat yang berwenang setempat, apabila melanggar ketentuan blokade, peraturan karantina, atau membawa barang terlarang (penyelundupan).


Pasal 690

Yang dimaksud dengan "tidak memberi sesuatu yang wajib diberikan" misalnya memberikan makanan atau ransum kepada orang yang berlayar.


Pasal 691

Yang dimaksud dengan "keadaan terpaksa" adalah sesuatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga nakhoda atau pemimpin kapal terpaksa melakukan suatu tindakan untuk menjaga keselamatan pelayaran, misalnya karena kelebihan muatan yaitu untuk menjaga jangan sampai kapal tenggelam atau karena penyakit menular.


Pasal 692

Ketentuan Pasal ini dimaksudkan sebagai usaha untuk mencegah penyalahgunaan bendera Indonesia.


Pasal 693

Yang dimaksud dengan "kapal pemerintah selain kapal perang yang bertugas dalam bidang keamanan dan ketertiban di laut" antara lain kapal polisi perairan dan kapal Bea dan Cukai.


Pasal 694

Ketentuan dalam Pasal ini berkaitan dengan adanya suatu kewajiban untuk melakukan pencatatan setiap kelahiran atau kematian. Hal ini untuk kepentingan administrasi kependudukan. Apabila kelahiran atau kematian terjadi di laut kewajiban melakukan pencatatan dibebankan kepada nakhoda kapal.


Pasal 695

Perbuatan yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dikatakan merupakan perbuatan yang menghambat penegakan hukum.


Pasal 697

Cukup jelas


Pasal 698

Cukup jelas.


Pasal 699

Tanda pengenal untuk kapal rumah sakit atau sekoci adalah tanda Palang Merah. Maksud pemakaian tanda tersebut untuk melindungi kapal atau sekoci rumah sakit dari serangan.


Pasal 700

Cukup jelas.


Pasal 701

Cukup jelas.


Pasal 702

Cukup jelas.


Pasal 703

Cukup jelas.


Pasal 704

Cukup jelas.


Pasal 705

Cukup jelas.


Pasal 706

Cukup jelas.


Pasal 707

Termasuk dalam pengertian "perwira kapal" antara lain mualim dan dokter kapal.


Pasal 708

Cukup jelas.


Pasal 709

Cukup jelas.


Pasal 710

Cukup jelas.


Pasal 711

Cukup jelas.


Pasal 712

Cukup jelas.


Pasal 713

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan merugikan penanggung asuransi atas pesawat udara, dengan cara membakar, menyebabkan ledakan, dan sebagainya atas pesawat udara tersebut.
Yang dimaksud dengan "pembakaran" dalam ketentuan Pasal ini tidak perlu harus menimbulkan bahaya umum atau kematian, tetapi cukup apabila terjadi suatu kebakaran, karena tujuannya untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri dengan merugikan penanggung asuransi.
Apabila yang dicelakakan adalah pesawat udara yang sedang dalam penerbangan, maka pidananya diperberat. Demikian juga apabila terjadi luka berat atau mengakibatkan matinya orang.


Pasal 714

Perbuatan yang nyata-nyata dapat membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan, misalnya membuka pintu utama atau pintu darurat, merusak alat-alat pelampung, atau alat-alat penyelamat lainnya.


Pasal 715

Perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib atau disiplin dalam pesawat udara misalnya dengan sengaja mabuk, membuat onar, atau kegaduhan.


Pasal 716

Benda dalam ketentuan Pasal ini adalah benda yang berasal dari tindak pidana, misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, atau penipuan. Tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal ini disebut sebagai tindak pidana proparte dolus proparte culpa.


Pasal 717

Orang yang secara berulang-ulang melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 716, tidak perlu dibuktikan bahwa pembuat tindak pidana melakukan tindak pidana ini untuk mengejar keuntungan. Dikategorikan "menjadikan kebiasaan" karena perbuatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang meskipun jangka waktunya agak lama.


Pasal 718

Cukup jelas.


Pasal 719

Cukup jelas.


Pasal 720

Cukup jelas.


Pasal 721

Cukup jelas.


Pasal 722

Cukup jelas.


Pasal 723

Tindak pidana dalam ketentuan Pasal ini lazim disebut dengan delik pers. Pada dasarnya dalam delik pers pembuat tindak pidana adalah orang yang membuat tulisan, akan tetapi apabila syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipenuhi, maka penerbit yang harus mempertanggungjawabkan tindak pidana tersebut.


Pasal 724

Ketentuan dalam Pasal ini ditujukan kepada pencetak.


Pasal 725

Cukup jelas.


Pasal 726

Cukup jelas.


Pasal 727
Cukup jelas.