Lompat ke isi

Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Bali/Bab 4

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB IV

SISTEM PELAPISAN SOSIAL

Kehidupan manusia dalam kelompok-kelompok sosial seperti halnya kehidupan dalam komunitas, pada hakekatnya mewujudkan sejumlah hak dan kewajiban tertentu bagi orang-orang yang menempati kedudukan tersebut. Kedudukan atau status seperti itu dalam setiap komunitas, di samping berbeda secara horisontal juga berbeda secara vertikal.

Adanya perbedaan horisontal, yaitu perbedaan yang menekankan pada aspek jenis kedudukan satu terhadap yang lain, akan mewujudkan gejala difrensasi sosial. Perbedaan vertikal, yaitu perbedaan yang menekankan pada aspek tinggi rendahnya kedudukan sehingga tercipta adanya ranking dalam kedudukan, akan mewujudkan gejala stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Dalam gejala yang kedua ini ada kecendrungan, bahwa orang-orang yang tergolong kedalam lapisan tertentu memiliki pola hidup tertentu yang berbeda dengan lapisan lainnya, baik menurut persepsi orang-orang dari dalam lapisan yang bersangkutan, maupun dari kacamata pandangan seluruh warga suatu komunitas (17 , 174).

Sesuai dengan salah satu ciri hakiki dari kehidupan masyarakat, yaitu adanya ciri dinamik, maka dari segi dimensi waktu, sistem pelapisan tersebut akan mengalami perkembangan dan perubahan tertentu dari masa lalu ke masa kini. Atas dasar logika seperti itu, maka sistematika deskripsi tentang sistem pelapisan sosial dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali juga akan diperinci kedalam dua hal pokok, yaitu:

  1. Sistem pelapisan sosial masa lalu.
  2. Sistem pelapisan sosial masa kini.

Masing-masing hal tersebut akan memusatkan uraiannya ke dalam empat hal, yaitu: dasar pelapisan, bentuk lapisan, bentuk pelapisan, hubungan antar lapisan, dan kecendrungan perubahan pelapisan.

PELAPISAN SOSIAL MASA LALU

Sistem pelapisan, ada pada setiap jaman dari kehidupan suatu suku bangsa ataupun dari kehidupan suatu kelompok sosial yang mendiami suatu wilayah tertentu. Kalau dilihat dari dimensi

waktu, sistem pelapisan sosial masa lalu pada masyarakat Bali,

pada hakekatnya adalah sistem pelapisan sosial yang berakar pada tradisi kecil (kebudayaan pra Hindu) dan tradisi besar (kebudayaan Hindu).

Seperti telah disinggung dalam Bab II di depan tradisi kecil itu meliputi unsur-unsur kebudayaan Bali seperti masih tampak daIam segi-segi kehidupan masyarakat pada beberapa desa kuno di Bali pegunungan (Bali Aga), seperti antara lain misalnya: desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Tradisi besar itu terdiri dari unsur-unsur yang sangat didominasi oleh kebudayaan Hindu Jawa yang berkembang bersamaan dengan agama Hindu di Bali (21, 19 - 27 ).

Eksestensi sistem pelapisan dalam suatu masyarakat, dapat terwujud secara resmi dan dapat pula terwujud secara samar. Pelapisan sosial resmi dalam suatu masyarakat, adalah suatu sistem pelapisan yang sudah tegas, di mana warga dari suatu lapisan itu mendapat sejumlah hak dan kewajiban yang terbeku kedalam adat dan yang dilindungi oleh hukum adat atau hukum yang berlaku. Pelapisan sosial samar adalah sistem pelapisan yang biasanya baru merupakan anggapan yang lahir dalam suatu masyarakat, belum diikuti oleh hal-hal yang mewarnainya secara jelas dan konkrit dan karena itu belum terbeku ke dalam adat. Keadaan pelapisan sosial masa lalu dalam kehidupan komunitas-komunitas di Bali agaknya juga mengandung ciri-dri yang dapat dikatagorikan sebagai sistem pelapisan sosial resmi dan sistem pelapisan sosial samar seperti tampak dalam uraian di bawah.

Pelapisan sosial resmi

Sebagaimana sudah disebutkan di dalam pelapisan sosial resmi adalah pelapisan yang sudah tegas dan terbeku kedalam adat. Untuk dapat melihatnya lebih jelas kenyataannya pada masyarakat Bali, pelapisan sosial resmi ini akan dilihat dari bermacam-macam hal yaitu: dasar, bentuk, hubungan dan kecendrungan perobahan.

1. Dasar pelapisan

Dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali masa lalu, sudah dikenal adanya suatu: sistem pelapisan yang menunjukkan ciri-ciri pelapisan sosial resmi. Adapun dasar terwujudnya pelapisan sosial resmi seperti itu ada bermacam-macam, yang terpenting adalah: keaslian, senioritas, keturunan, dan kekuasaan.

Sifat keaslian sebagai dasar untuk terjadinya pelapisan sosial sering terlihat dalam masyarakat, khususnya dalam masyarakat

yang hidup dalam bercocok tanam menetap. Dalam masyarakat

desa dari suatu suku bangsa bercocok tanam seperti itu, penduduk yang merupakan keturunan dari penduduk asli sering dianggap sebagai lapisan tertinggi (17, 189).

Pada masyarakat Bali, di mana kehidupan berkomunikasi itu pada dasarnya adalah berakar dari kehidupan bercocok tanam,, maka dasar keaslian sebagai dasar untuk terjadinya pelapisan sosial juga masih kentara. Pada beberapa desa yang dijadikan lokasi penelitian, dasar itu juga terbukti cukup kentara, seperti misalnya pada masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan. Penduduk asli di desa itu adalah merupakan lapisan tertinggi dengan sejumlah hak dan kewajiban yang terbeku kedalam adat dan hal itu berbeda sedemikian rupa dengan golongan penduduk pendatang yang di katagorikan sebagai lapisan yang lebih rendah.

Dasar senioritas juga cukup kentara sebagai suatu dasar yang mewujudkan pelapisan sosial dalam komunitas yang bersangkutan. Makin tradisional orientasi suatu komunitas, makin kentara dasar senioritas sebagai dasar pelapisan sosial. Dalam kehidupan seperti itu, golongan tua-tua adalah golongan yang menjadi pusat orientasi dalam masalah adat, golongan yang menjadi panutan dan konsultasi dibidang adat dan juga sebagai golongan yang baik berperan dalam mengambil keputusan, sepanjang menyangkut masalah-masalah adat, baik melalui forum informal maupun forum formal (rapat desa). Karena itu golongan tua-tua dikatagorikan sebagai golongan yang menempati lapisan sosial tinggi dan berbeda dengan golongan muda yang dianggap berkedudukan lebih rendah.

Dasar keturunan sebagai dasar pelapisan sosial pada masyarakat Bali kentara dalam sistem pelapisan menurut kasta. Dasar ini adalah merupakan hasil proses akulturasi antara sistem kasta yang berakar pada agama dan kebudayaan Hindu dengan sistem kekerabatan orang Bali yang berdasarkan prinsip keturunan patrilineal. Atas dasar seperti itu, kedudukan orang Bali dalam suatu kasta tertentu ditentukan dan diturunkan melalui kasta ayahnya. Demikianlah mekanisme keturunan dalam hal kasta pada masyarakat Bali dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:

Bila ayah brahmana, maka semua anaknya berkasta brahmana bila ayahnya ksatria, maka semua anaknya adalah berkasta ksatria;

bila ayah nya wesya, maka semua anaknya adalah berkasta wesya, dan begitu juga, bila ayahnya sudra, maka semua anaknya adalah tergolong kasta sudra. Pelapisan sosial atas dasar kasta ini pada umumnya terdapat pada masyarakat Bali dataran dan tidak pada masyarakat desa Bali Aga.

Kekuasaan adalah juga merupakan dasar pelapisan yang penting dalam sistem pelapisan sosial masyarakat Bali masa lalu. Fenomena ini sangat kentara dalam kehidupan masyarakat Bali, tatkala di Bali berkembang sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Dalam sistem pemerintahan seperti itu, keluarga raja dan para kerabat dekat mereka adalah merupakan suatu golongan tersendiri yang dikatagorikan sebagai golongan bangsawan. Golongan bangsawan ini adalah merupakan lapisan tertinggi yang dilengkapi dengan berbagai ciri khusus yang secara jelas dan tajam membedakannya dari golongan-golongan lain yang berada pada jenjang pelapisan yang lebih rendah.

Bersumber pada kekuasaan yang sering mempunyai implikasi politik sosial dan ekonomi, lapisan bangsawan sebagai lapisan tertinggi sering menjadi pusat orientasi (orientasi vertikal) dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Masyarakat banyak (rakyat jelata) yaitu golongan yang menempati lapisan terbawah adalah merupakan golongan yang dalam banyak segi kehidupannya bersifat tergantung terhadap golongan diatasnya.

2. Bentuk pelapisan :

Struktur pelapisan menurut dasar keaslian dibedakan atas dua lapisan:

  1. Lapisan asli sebagai yang lebih tinggi.
  2. Lapisan tak asli sebagai lapisan yang lebih rendah.
Keanggotaan dari lapisan asli, dengan mengambil ilustrasi desa adat Tenganan Pegringsingan, adalah terdiri dari warga desa asli yang disebut wong Tenganan. Warga asli di Tenganan itu terdiri dari beberapa soroh seperti: Soroh sengiang, Soroh ngijeng, Soroh batu guling, Soroh batu guling Bali Aga, Soroh mbah buluh, Soroh prajurit, Soroh pande mas, Soroh pande besi, Soroh pasek, dan Soroh bendesa (31, 11).

Keanggotaan lapisan tak asli di Tenganan disebut wong angendok, terdiri dari orang-orang pendatang ke desa itu.

Atribut yang membedakan lapisan asli dan tak asli tampak dalam beberapa hal, antara lain: pakaian adat, rumah tempat tinggal.

Di Tenganan dan juga pada masyarakat desa Bali lainnya, gelar yang membedakan lapisan asli dan lapisan tak asli tidak begitu kentara.

Namun hak antara lapisan asli dan lapisan tak asli berbeda dengan jelas. Beberapa hak lapisan asli yang tidak diperoleh oleh lapisan tak asli, antara lain:

  1. Hak untuk duduk sebagai warga desa ini.
  2. Hak untuk menerima bagian dari hasil tanah kolektif.
  3. Hak untuk turut dalam rapat dan mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan desa.
  4. Hak untuk menjadi pimpinan desa.

Pada beberapa desa lain di Bali, hanya orang dari lapisan asli yang juga boleh dipilih sebagai bendesa atau klian dinas (pimpinan desa)

Kewajiban seseorang dalam suatu komunitas sering berkaitan erat dengan hak mereka dalam komunitas tersebut. Demikian, lapisan asli dengan hak-haknya yang khusus seperti itu menimbulkan sejumlah kewajiban yang khusus pula, suatu kewajiban yang tidak dikerjakan oleh lapisan tak asli.

Untuk menyebut beberapa contoh tentang kewajiban lapisan asli yang tidak turut dilakukan oleh lapisan tak asli: kewajiban dalam berbagai kegiatan pelaksanaan upacara ditingkat desa. Di Tenganan Pegringsingan perbedaan kewajiban itu amat kentara, seperti misalnya: dalam tarian rejang, tarian abuang, menabuh selonding dalam rangka upacara di desa itu.

Peranan lapisan asli dan tak asli juga berbeda dengan cukup tajam. Di Bali pada umumnya lapisan asli mempunyai peranan yang sangat besar dan menentukan, baik yang menyangkut kepemimpinan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan ditingkat komunitas. Lapisan tak asli umumnya berperan sebagai pelengkap.

Pelapisan menurut dasar senioritas dibedakan atas dua lapisan yaitu:

  1. Lapisan golongan tua-tua sebagai lapisan yang Iebih tinggi.
  2. Lapisan golongan muda sebagai lapisan yang lebih rendah.

Keanggotaan lapisan golongan tua-tua umumnya ditentukan

oleh faktor umur dan status perkawinan. Golongan tua-tua adalah

golongan yang relatif telah berumur lanjut serta merekapun adalah orang-orang yang telah kawin. Keadaan seperti itu menyebabkan mereka dipandang telah mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas dan dalam, khususnya di bidang adat, Sebaliknya golongan muda adalah mereka yang muda usia dan muda pula dalam hal pengalaman dan pengetahuan di bidang adat. Dalam kehidupan masyarakat Bali Aga, golongan tua-tua mempunyai kedudukan tertentu yaitu sebagai luanan, dulu (hulu).

Atribut yang membedakan golongan tua dan golongan muda,, pada umumnya adalah dalam hal bentuk, jenis dan cara mereka memakai pakaian adat. Hal itu tampak dalam berbagai upacara dan kegiatan di bidang adat.

Umumnya bagi lapisan golongan tua-tua, pada mereka melekat suatu sistem gelar tertentu dan pada masyarakat Bali hal itu terwujud dalam sistem teknonimi yang dipakai secara luas di seluruh Bali, khususnya pada kehidupan masyarakat yang masih kuat mencerminkan pola tradisional.

Sistem gelar menurut adat teknonimi itu membedakan sebutan menurut variabel jenis kelamin dan variabel tingkatan senioritas. Demikianlah, sebutan pan ditujukan kepada seorang Ayah telah mempunyai anak dan sebutah men ditujukan kepada ibu dari anak tersebut. Sebutan pan A berarti ayah dari si A dan men A adalah ibu dari si A. Si A yang dipakai patokan itu biasanya adalah anak yang sulung. Disamping pan dan men, yaitu sebutan yang ditujukan kepada generasi satu angkatan di atas ego, dikenal pula sebutan pekak dan dadong yang ditujukan kepada generasi dua angkatan diatas ego, kumpi untuk generasi tiga angkatan di atas ego, buyut untuk generasi empat angkatan di atas ego dan seterusnya.

Dengan demikianlah jelas bahwa gelar pan/men adalah gelar yang berbeda dari pekak/dadong, berbeda pula dengan kumpi maupun buyut, suatu perbedaan gelar yang pada hakekatnya berdasarkan tingkat senioritas. Sistem gelar menurut adat teknonimi itu, sedikit-dikitnya mempunyai dua arti penting, dalam hal klasifikasi secara simbolis dari warga desa: pertama, sistem tersebut menekankan adanya konsepsi suami-istri sebagai dwi-tunggal secara sosial, karena mereka dipanggil pan dan men dari anak yang sama, kedua sistem tersebut menyebabkan adanya pelapisan menurut umur seperti diuraikan di atas. Konsepsi suami-isteri sebagai dwi-tunggal pada masyarakat Bali tampak dalam berbagai kehidupan lembaga-lembaga sosial tradisional di Bali: banjar, subak, sekeha, desa adat ( 8, 179).

Secara resmi, hak yang membedakan antara golongan tua· tua dengan golongan muda dalam kehidupan suatu komunitas kurang jelas batas-batasnya.

Kewajiban itupun tidak tegas dibedakan, tetapi terdapat kecendrungan, bahwa golongan tua-tua adalah golongan yang dianggap berkewajiban sebagai penasehat dan pendamai apabila terjadi perselisihan-perselisihan menurut adat. Dan juga golongan tua-tua adalah sebagai tempat bertanya, tempat meminta pertimbangan dalam berbagai masalah adat. Sedangkan golongan muda pada umumnya adalah sebagai tenaga pelaksana sesuai dengan sifat dinamika dari golongan ini.

Dalam kehidupan masyarakat yang masih kuat mencerminkan pola tradisional, peranan golongan tua-tua cukup besar. Golongan ini dianggap sebagai sumber stabilitas dan pengendali sosial. Dalam kehidupan masyarakat yang cendrung mengadapsi pola modern, peranan golongan muda menjadi amat penting, yaitu sebagai agent of modernization.

Struktur pelapisan menurut dasar keturunan yaitu dasar kasta , dibedakan atas empat lapisan :

  1. Brahmana, sebagai lapisan tertinggi.
  2. Ksatria, seba,gai lapisan kedua,
  3. Wesya, sebagai lapisan ketiga, dan
  4. Sudra, sebagai lapisan terendah.
Menurut Koentjaraningrat, sistem pelapisan sosial yang terwujud sebagai kasta memperlihatkan beberapa ciri sebagai berikut:
  1. Keanggotaan dalam kasta dilarang dengan pantangan hukum dan agama.
  2. Perkawinan luar kasta dilarang dengan pantangan hukum dan agama.
  3. Pergaulan dengan kasta-kasta lebih rendah dilarang keras dengan pantangan-pantangan berdasarkan hukum agama (17, 184).
Dengan berpegang pada konsep kasta seperti tersebut di atas ini, agaknya di dalam kehidupan masyarakat Bali masa lalu terwujud adanya sistem pelapisan sosial atas dasar kasta tersebut, karena sekurang-kurangnya (atas dasar kajian pustaka), dua ciri pertama dari tiga ciri tersebut di atas terbukti pernah ada. Larangan perkawinan di Iuar kasta, terutama bagi wanita dari lapisan tertinggi pernah dikuatkan menurut hukum, karena pelanggaran terhadap larangan itu dikenakan sanksi hukum, berupa pembuangan ke sua

tu tempat tertentu (dalam bahasa Bali disebut selong). Hukum buangan itu telah dihapus tahun 1951.

Keanggotaan kedalam suatu kasta tertentu adalah didasarkan pada prinsip kelahiran. Demikianlah, seseorang anak selalu tergolong kedalam kasta yang sama dengan kasta ayahnya (prinsip patrilineal). Mobilitas vertikal di dalam sistem pelapisan menurut kasta di Bali dimungkinkan, yaitu melalui perkawinan. Sebagai akibat dari perkawinan, maka kasta seseorang wanita pada hakekatnya mengikuti kasta suaminya dan demikian pula anak-anak keturunannya.

Atributor yang membedakan kasta yang satu dengan yang lain antara lain adalah: rumah tempat tinggal, penggunaan simbul (lambang) dalam upacara, penggunaan bahasa dalam sopan santun pergaulan.

Sistem gelar juga terbeku ke dalam sistem pelapisan menurut dasar kasta tersebut. Demikianlah, gelar Ida bagus dan Ida ayu, untuk kasta brahmana, gelar anak agung dan Dewa untuk kasta kstaria dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali masa lalu, berbeda hak antara kasta yang satu dengan yang lain juga jelas kelihatan. Untuk menyebutkan beberapa contoh, misalnya: hak untuk menjadi pedanda (pendeta Hindu) adalah hanya dilingkungan kasta Brahmana; hak untuk memegang pemerintahan misalnya sebagai raja adalah dilingkungan kasta ksatria. Dalam kaitannya dengan hak seperti itu sering pula tercakup sejumlah hak yang bersifat ekonomi, sosial, keagamaan dan politik.

Konsep kasta dalam masyarakat Bali masa lalu sering berkaitan erat dengan kewajiban yang mengangkat profesi tertentu. Demikianlah, kasta brahmana berkaitan erat dengan kewajiban di bidang keagamaan, Kasta Ksatria berkaitan erat dengan kewajiban di bidang pemerintahan, pembelaan dan pertahanan, kasta wesya berkaitan erat dengan kewajiban di bidang ekonomi seperti perdagangan dan kasta sudra berkewajiban di bidang pertanian.


Konsep kasta masa lalu yang padanya melekat pada jumlah hak dan kewajiban seperti tersebut diatas, mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat, karena merupakan suatu mekanisme untuk lancarnya fungsi dalam rangka eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut.

F. Menurut dasar kekuasaan terdapat tiga lapisan sosial pada masyarakat Bali masa lalu. Ketiga lapisan itu adalah sebagai berikut:
  1. Lapisan bangsawan;
  2. Lapisan menengah;
  3. Lapisan rakyat jelata.

Keanggotaan dalam pelapisan ditentukan oleh faktor kelahiran. Demikianlah, lapisan bangsawan terdiri dari keluarga raja dengan keturunannya dan sejumlah kerabat dekat yang terlibat dan berfungsi dalam menegakkan kekuasaan raja Lapisan menengah adalah merupakan aparat bawahan yang merupakan lapisan penghubung dan penyalur kekuasaan dari lapisan bangsawan terhadap lapisan paling bawah, yaitu rakyat jelata.

Atribut yang membedakan lapisan atas, menengah dan bawah tampak dalam beberapa hal, seperti: pakaian, simbul (lambang) rumah tempat tinggal, bahasa, sikap dan sopan santun pergaulan.

Gelar bangsawan atau raja di Bali, misalnya adalah gelar Dalem. (Dalem Sagening, Dalem Gelgel). Gelar lapisan menengah misalnya adalah gelar Arya (Arya Kenceng, Arya Belog).

Hak masing-masing lapisan berkaitan dengan lingkup kekuasaan yang ada pada lapisan tersebut, suatu kekuasaan yang sering mempunyai implikasi sosial, politik, ekonomi. Demikianlah, hak Dalem jauh lebih luas dari pada hak seorang Arya yang sering terbatas pada wilayah tertentu sebagai bagian wilayah kerajaan.

Seperti telah disinggung, bahwa antara kewajiban dan hak adalah dua hal yang berbeda, tetapi berkaitan erat satu sama lain. Dalam kehidupan yang berpola ideal pada umumnya ada korelasi antara kewajiban dan hak dalam arti, makin luas hak maka makin luas pula kewajiban tersebut. Demikianlah, kewajiban raja sering menjadi amat luas dalam kehidupan masyarakat sebagai pemegang tapuk pemerintahan tertinggi. Lapisan menengah berkewajiban sebagai mediator.

Peranan lapisan-lapisan atas dasar kekuasaan ini amat besar dalam masyarakat Bali masa lalu, karena dengan demikian pembagian kekuasaan yang menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat dan komunitas dapat diatur menurut jenjang hierar khis kekuasaan yang telah melembaga.

Hubungan antar lapisan.

Suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, bahwa orang-orang yang terbagi menurut lapisan-lapisan seperti diuraikan

di atas, hidup bersama-sama dalam suatu komunitas tertentu. Sebagai manusia sosial, mereka berinteraksi dan karena itu terjalin adanya hubungan antar lapisan-lapisan itu. Hubungan itu men

cakup berbagai aspek kehidupan seperti: hubungan kekerabatan, hubungan tetangga, hubungan pekerjaan, dan hubungan kemasyarakatan lainnya.

Dengan mengacu kepada fenomena perkawinan sebagai salah satu hubungan yang menyangkut aspek kekerabatan, maka dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali masa lalu, sistem pelapisan berpengaruh secara tajam. Dengan mengambil contoh dari pelapisan sosial atas dasar kasta, maka terdapat kecendrungan yang kuat yang muncul sebagai preferensi umum, bahwa perkawinan intrakasta (endogami kasta) adalah bentuk perkawinan yang ideal. Dengan demikian martabat kasta dapat dipelihara dan pencemaran kasta dapat dihindarkan. Demikian pula hal yang sama berlaku dalam sistem pelapisan menurut kekuasaan dan menurut keaslian. Data dari masyarakat desa adat Tenganan Pegeringsingan misalnya mengungkapkan , bahwa masyarakat itu perkawinan antara orang Tenganan asli dengan orang bukan asli adalah perkawinan yang dihindarkan, karena membawa akibat lepasnya kedudukan seseorang sebagai warga desa inti, suatu kedudukan penting karena adanya melekat berbagai hak dan kewajiban, yang bernilai ekonomi, sosial, politik dan religi.

Dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali, peranan hubungan tetangga sangat besar. Banyak kegiatan-kegiatan: sosial, keagamaan, diaktifkan melalui hubungan antar tetangga. Masih sangat kentara bahwa dalam kegiatan-kegiatan antar tetanga seperti itu, prinsip gotong-royong tolong menolong merupakan prinsip yang mendasari hubungan tetangga tersebut. Hal itu tampak dalam berbagai bentuk kegiatan gotong-royong tolong menolong, seperti: Ngoopin, ngajakang, ngrombo dan lain-lain. Dalam rangka hubungan tetangga seperti itu sistem pelapisan sosial kurang berpengaruh secara tajam, walaupun dalam hal sopan santun hubungan cerminan sistem pelapisan tetap kentara. Hal itu menunjukkan, bahwa hubungan gotong royong tolong-menolong antar lapisan dalam lingkung hubungan tetangga dapat terwujud, tanpa dihambat oleh jenjang tinggi rendahnya kedudukan orang-orang dalam lapisan tersebut.

Dalam hal hubungan pekerjaan, hubungan anggota-anggota

asal dari lapisan yang berbeda pada umumnya juga tidak berpengaruh secara tajam, walaupun dalam hal sopan santun hubungan cerminan sistem pelapisan tetap kentara. Lebih-lebih lagi, apabila pekerjaan itu tersalur melalui lembaga lembaga tradisional seperti: desa adat, banjar, yang pada hakekatnya tidak membedakan keanggotaan menurut lapisan sosial. Itu berarti bahwa suatu pekerjaan yang diserahkan kepada banjar adalah menjadi beban

dan tanggung jawab semua warga banjar dan karena itu wajib diselesaikan dan dikerjakan oleh segenap anggota banjar tanpa memperhatikan latar belakang pelapisan sosial antara anggota-anggotannya. Dalam keadaan seperti itu sejak lama telah dapat di observasi, dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali, bahwa dari sudut kasta misalnya, kasta brahmana dapat bekerja bersama-sama dengan kasta ksatria, wesya maupun sudra.

Hubungan antar lapisan dalam berbagai bidang kemasyarakatan lainnya, keadaannya sangat tergantung kepada jenis bidang yang bersangkutan. Dalam bidang upacara keagamaan misalnya, hubungan antar lapisan cukup kentara. Dalam bidang upacara keagamaan itu, dengan mengacu kepada sistem pelapisan atas dasar kasta, maka peranan kasta brahmana apalagi mereka yang telah ditasbihkan sebagai pedanda, adalah amat penting. Kedudukan dan peranan seperti itu memisahkan secara cukup tajam antar lapisan yang ada. Hal itu terlihat bukan saja dalam hal sikap dan sopan santun hubungan, tetapi juga dalam sejumlah hak dan kewajiban.

4. Kecendrungan perubahan lapisan :

Sesuai dengan hakekat masyarakat dan kebudayaan yang bersifat dinamik, maka pelapisan sosial sebagai sub-sistem sosial budaya masyarakat Bali telah mengalami perubahan tertentu sesuai dengan dinamika dan perubahan yang terjadi dalam sistem sosial budaya masyarakat Bali.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahaan dalam sistem pelapisan sosial resmi masyarakat Bali masa lalu.

Faktor-faktor yang terpenting adalah:

  1. Faktor pendidikan.
    Pendidikan disatu pihak menyebabkan majunya pengetahuan manusia termasuk pengetahuan dalam menanggapi lingkungannya secara makin logis dan rasional dan di pihak lain muncul pula sebagai produk pendidikan sejumlah orang dengan keahlian yang memperoleh kedudukan tertentu dalam masyarkat. Hal ini dapat merupakan sebab perubahan dalam sistem pelapisan sosial yang melembaga.
  2. Faktor ekonomi.

    Perkembangan ekonomi juga menyebabkan terjadinya pergeseran kedudukan orang-orang dalam masyarakat. Dengan diterimanya faktor ekonomi sebagai indikator

  1. yang membedakan tinggi rendahnya kedudukan, maka hal ini dapat merupakan sebab perubahan dalam sistem pelapisan sosial yang berdasarkan kepada keturunan, senioritas, keaslian maupun kekuasaan.
  1. Faktor kekuasaan.
    Perubahan struktur pemerintahan yang mempunyai implikasi perubahan struktur kekuasaan akan sangat mempengaruhi sistem pelapisan atas dasar kekuasaan itu. Hal ini dapat kentara misalnya setelah hilangnya siStem pemerintahan yang berbentuk kerajaan di Bali.
  2. Faktor komunikasi.
    Pesatnya perkembangan komunikasi yang menyebabkan makin meluasnya masyarakat Bali terkomunikasi dengan dunia luar, membawa akibat makin banyaknya masuk nilai-nilai baru yang dapat menggeser atau merubah nilai-nilai tradisional. Hal ini juga merupakan salah satu sebab terjadinya perubahan dalam sistem pelapisan sosial resmi masa lalu.

Jalannya proses perubahan pelapisan sosial secara kualitatif dapat dikemukakan, bahwa ada perubahan yang berlangsung secara cepat dan ada pula secara lambat. Dalam sistem ekonomi dan dan sistem pemerintahan misalnya, proses itu berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi di bidang keagamaan. Secara keseluruhan proses perubahan itu berlangsung secara tumpang tindih dan cukup rumit. Jalur perubahan pelapisan dalam masyarakat Bali, dapat berproses melalui jalur formal yaitu melalui lembaga-lembaga pemerintahan resmi dan dalam hal ini ide perubahan pada umumnya asal dari luar masyarakat yang bersangkutan. Jalur yang lain adalah asal dari dalam masyarakat yaitu setelah sejumlah individu asal dari masyarakat yang bersangkutan mengembangkan nilai-nilai baru dan kemudian mendifusikannya secara intra-masyarakat. Mereka ini berperan sebagai ”agent of change” yang antara lain terdiri dari:pelajar, pegawai pedagang, pimpinan masyarakat.

Hasil perubahan pelapisan pada masyarakat Bali berdimensi dua, yaitu : melemahnya dasar-dasar pelapisan masa lalu (dasar keaslian, senioritas, keturunan dan kekuasaan tradisional) terutama dalam bidang kehidupan ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan, dan berkembangnya dasar-dasar baru sebagai indikator pelapisan,

yaitu: dasar pendidikan, kekayaan dan kepangkatan. Dasar pelapisan yang baru ini sedang dalam proses pelembagaan dan belum secara mantap terbeku ke dalam adat.

Pelapisan sosial samar.

Pelapisan sosial semua ini sesuai dengan pola pelapisan sosial samar akan dilihat dalam beberapa hal yaitu: dasar, bentuk, hubungan, dan kecendrungan perobahan.

1. Dasar pelapisan:

Dalam kehidupan komunitas masyarakat Bali masa lalu, dasar-dasar yang mewujudkan pelapisan sosial samar antara lain yang terpenting adalah: kekayaan, dan kepandaian.

Walaupun faktor kekayaan sebagai dasar untuk terwujudnya suatu sistem pelapisan sosial kurang begitu terbeku ke dalam adat, namun cukup kentara, bahwa golongan kaya, baik menurut pandangan sesama mereka maupun pandangan warga komunitas, pada umumnya mempunyai pola kehidupan tertentu yang secara vertikal (penilaian tinggi rendah) berbeda dengan golongan miskin pada masyarakat yang bersangkutan. Dalam kehidupan masyarakat Bali masa lalu, di mana ciri agraris adalah merupakan ciri dominan, tingkat kekayaan itu sering diukur melalui pemilikan tanah. Apabila hal ini dikaitkan dengan struktur masyarakat, tampak adanya kaitan positif antara pemilikan tanah dengan kekuasaan, sehingga dasar pelapisan menurut kekayaan ini bersifat saling menunjang dan saling tumpang tindih dengan dasar pelapisan menurut kekuasaan seperti yang telah diuraikan di depan.

Kepandaian juga tampak sebagai faktor yang mendasari sistem pelapisan sosial yang terwujud secara samar. Dalam sistem sosial masyarakat Bali masa lalu, terdapat sejumlah orang dengan memiliki kepandaian khusus tertentu. Kepandaian tersebut umum nya tidak didapat melalui pendidikan formnal, seperti misalnya:

kepandaian yang berhubungan dengan bangunan (undagi), kepandaian yang berhubungan dengan kesenian (dalang, pregina), kepandaian yang berhubungan dengan pembuatan peralatan dari besi (Pande besi), kepandaian yang berhubungan dengan pengobatan (balian) dan lain-lain. Menurut pandangan warga komunitas, orang-orang dengan kepandaian khusus seperti itu dianggap menempati suatu ranking kedudukan tertentu yang lebih tinggi dengan orang kebanyakan dalam komunitas tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Bali masa lalu, kepandaian yang diperoleh melalui pendidikan formal, juga merupakan dasar untuk terwujudnya lapisan sosial samar dalam masyarakat.

2. Bentuk pelapisan:

Menurut dasar kekayaan umumnya dibedakan atas dua lapisan:

  1. Lapisan kaya.
  2. Lapisan miskin.

Sesuai dengan sifat samar dari lapisan itu, yang berarti kurang dibedakan secara jelas dan tajam menurut adat, maka deskripsi detail juga sukar dikemukakan. Dalam hal ini keanggotaan misalnya, walaupun secara teoritas bersifat terbuka, tetapi sering kekayaan itu bersifat diwariskan dan diturunkan. Atribut lapisan tampak dalam beberapa hal, seperti: rumah, pakaian dan unsur-unsur material lainnya. Tentang hak, kewajiban dan peranan tidak jelas fokusnya dalam masyarakat.

Sedangkan menurut dasar kepandaian, dibedakan atas dua lapisan:

  1. Lapisan yang terdiri dari orang-orang dengan kepandaian khusus tertentu.
  2. Lapisan yang terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian seperti itu.

Keanggotaan dapat bersifat terbuka (tidak menurut keturunan) dan dapat tertutup (menurut keturunan). Atributnya antara lain tampak dalam faktor-faktor fisik seperti: rumah, pakaian. Mereka yang punya kepandaian khusus tertentu umumnya memakai gelar jero, sehingga ada sebutan jero balian, jero dalang, jero pande, jero undagi dan seterusnya. Hak dan kewajiban berkaitan dengan kepandaiannya itu dan karena itu sering menangani dan memperoleh hak dan kewajiban secara khusus. Peranannya amat penting dalam kebudayaan komunitas, karena kepandaiannya itu banyak menunjang untuk berfungsinya komunitas yang bersangkutan, baik secara intern maupun ekstern.

  1. Hubungan antar lapisan :

Hubungan antar lapisan atas dasar kekayaan yang menyangkut hubungan tetangga, hubungan pekerjaan dan hubungan

dalam aspek keagamaan, pengaruh lapisan itu tidak begitu tajam dan antar lapisan dapat dijalin adanya hubungan yang bersifat akrab. Tetapi dalam hubungan kekerabatan, (dengan mengacu kepada hubungan perkawinan misalnya, maka cukup kentara sifat hubungan menjadi terpisah secara tajam. Ada kecedrungan bahwa orang kaya ingin mengawinkan anaknya sesama golongan kaya dan sukar menerima anggota kerabat melalui hubungan perkawinan dari golongan miskin.

Hubungan antar lapisan atas dasar kepandaian yang menyangkut hubungan tetangga, kekerabatan, keagamaan, pengaruh lapisan tidak tajam, dalam hubungan pekerjaan.

Sepanjang pekerjaan itu menuntut keahiian dan kepandaian tertentu serta kepandaian itu berkaitan dengan dasar pelapisan, maka pengaruh lapisan menjadi cukup kentara. Demikianlah dalam hal membuat bangunan misalnya, pengaruh pelapisan tampak dalam hubungan para undagi dengan orang-orang lain yang tidak mempunyai kepandaian sebagai undagi.

  1. Kecendrungan perubahan lapisan:

Sebab-sebab perubahan lapisan , sosial samar masa lalu, tidak berbeda dengan sebab-sebab perubahan lapisan sosial resmi seperti telah diuraikan di depan, yaitu : faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor kekuasaan dann faktor komunikasi.

Proses perubahan, baik pelapisan antar dasar kekayaan maupun kepandaian berjalan relatif lambat dan rumit. Jalan yang dilewati oleh proses perubahan itu antara lain jalur formal seperti sekolah-sekolah dan jalur formal. Perubahan struktur kekuasaan yaitu dengan hilangnya sistem pemerintahan kerajaan adalah merupakan fenomena yang penting bagi proses perubahan pelapisan tersebut.

Hasil perubahan adalah makin kentaranya dimensi ganda dalain sistem pelapisan samar tersebut, baik atas dasar kekayaan manpun kepandaian, yaitu: dimensi pelapisan menurut keturunan (ascribed) dan diniensi pelapisan menurut prestasi yang dapat dicapai (achieved).

PELAPISAN SOSIAL MASA KINI

Perkembangan masyarakat dan kebudayaan Bali masa kini yang telah berada pada tingkat tradisi modern, pada hakekatnya masih secara kuat berakar pada tradisi besar (kebudayaan Hindu), dan bahkan pada beberapa tempat yaitu di desa-desa Bali Aga, masih tetap kentara adanya eksistensi unsur-unsur kebudayaan. tradisi kecil (kebudayaan pra-Hindu). Sesuai dengan sifat dinamik dari hakekat kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali seperti itu, maka dalam hal pelapisan sosial inipun telah terjadi perkembangan tertentu, walaupun bukan berarti adanya suatu perubahan yang menyeluruh.

Demikian, dalam kerangka berpikir seperti itulah akan dilihat dan ditiraikan tentang sistem pelapisan sosial di Bali masa kini, dengan acuan, baik terhadap lapisan sosial resmi maupun pelapisan sosial samar. Masing-masing hal tersebut akan memusatkan uraian

nya kedalam: dasar pelapisan, bentuk pelapisan, hubungan antar lapisan, dan kecendrungan perupahan pelapisan.

Pelapisan sosial resmi

1. Dasar pelapisan :

Dasar pelapisan sosial resmi di Bali masa kini, yaitu dasar pelapisan yang mewujudkan adanya sistem pelapisan yang tegas, di mana warga dari lapisan itu mendapat sejumlah hak dan kewajiban yang terbeku ke dalam adat, yang terpenting adalah: keaslian senioritas, dan keturunan.

Di Bali masa kini, faktor keaslian sebagai dasar pelapisan sosial resmi masih sangat kentara dalam sistem komunitas di desa desa yang tergolong desa Bali Aga, seperti misalnya desa adat Tenganan Pegringsingan. Pada sejumlah desa lainnya di Bali, walaupun dasar keaslian kadang-kadang masih kentara, tetapi pada umumnya terdapat kecendrungan, bahwa makin modern orientasi masyarakat serta makin bergesernya kehidupan mereka dari pola agraris, maka makin samar arti faktor keaslian sebagai dasar pelapisan. Seperti telah disinggung di depan bahwa faktor keaslian sebagai dasar terjadinya pelapisan sosial berkaitan erat dengan kehidupan bercocok tanam. Dalam masyarakat desa yang hidup bercocok tanam seperti itu dan dalam sistem komunitas di desa-desa yang tergolong desa Bali Ag, penduduk yang merupakan keturunan dari penduduk asli dianggap sebagai lapisan tertinggi.

Dasar senioritas sebagai dasar pelapisan sosial resmi di Bali masa kini, terutama ditemukan dalam sistem pelapisan sosial di desa-desa Bali Aga. Golongan senior di desa-desa itu disebut dengan istilah seperti: dulun desa atau luanan, dikatagorikan menurut adat sebagai golongan yang menempati lapisan sosial tinggi dan berbeda dengan golongan muda yang dianggap berkedudukan lebih rendah.

Di desa-desa Bali lainnya, arti faktor senioritas sebagai dasar pelapisan cendrung makin samar, sehingga golongan senior walaupun masih dianggap sebagai pusat orieritasi dan konsultasi di bidang adat, kedudukan mereka tidak begitu tegas lagi dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan golongan muda.

Dasar keturunan menurut kasta sebagai dasar pelapisan sosial resmi di Bali masa kini, masih cukup kentara, terutama yang menyangkut lapangan kehidupan kekerabatan, keagamaan dan kemasyarakatan lainnya yang tercakup dalam sistem banjar adat dan

desa adat. Berapa akhli (4;8), kini cendrung memakai istilah wangsa dari pada kasta. Menurut dasar kewangsaan tersebut, masyarakat diklasifikasikan atas: wangsa Brahmana, wangsa Ksatria, wangsa wesya dan wangsa sudra. Tiga wangsa pertama disebut juga triwangsa dan yang terakhir disebut jaba wangsa. Pelapisan sosial atas dasar kewangsaan ini pada umumnya terdapat pada masyarakat desa di Bali dataran dan tidak pada masyarakat desa Bali Aga.

2. Bentuk pelapisan:

Struktur pelapisan menurut dasar keaslian dibedakan atas dua lapisan:

  1. Lapisan asli sebagai lapisan yang lebih tinggi.
  2. Lapisan tak asli sebagai lapisan yang lebih rendah.

Keanggotaan dari lapisan asli bersifat tertutup dalam arti hanya terdiri dari orang-orang dari keturunan warga desa asli. Keanggotaan lapisan tak asli bersifat terbuka dalam arti mencakup semua orang yang datang ke desa itu. Didesa adat Tenganan Pegringsingan, misalnya, orang-orang pendatang disebut wong angendok

Atribut yang membedakan golongan asli dan tak asli kelihatan antara lain dalam hal: pakaian adat, rumah tempat tinggal.

Menurut informasi yang dapat dikumpulkan tidak diketemukan adanya sistem gelar yang membedakan antara lapisan asli dengan lapisan tak asli. Namun demikian dalam hak dan kewajiban nampaknya kedua lapisan ini dapat dibedakan.

Beberapa hak lapisan asli dalam masyarakat adalah:

  1. Hak untuk duduk sebagai warga desa inti.
  2. Hak untuk menerima bagian dari hasil tanah kolektif.
  3. Hak untuk turut dalam rapat-rapat desa.
  4. Hak untuk menjadi pimpinan desa.

Sedangkan beberapa kewajiban pokok dari lapisan asli antara lain adalah:

  1. Kewajiban melaksanakan upacara-upacara desa.
  2. Kewajiban memelihara milik kolektif.
  3. Kewajiban menjaga keamanan desa.
  4. Kewajiban memelihara dan memperbaiki bangunan-bangunan desa.
  5. Kewajiban bergotong-royong untuk berbagai kepentingan desa.
  6. Kewajiban lapisan tak asli sebagai pelengkap.

Pelapisan menurut dasar senioritas, dibedakan atas dua, yaitu

  1. Lapisan golongan tua-tua.
  2. Lapisan golongan muda.

Keanggotaan lapisan bersifat terbuka. Demikianlah, lapisan golongan tua-tua adalah terbuka bagi setiap warga desa yang berumur lanjut dan sering dengan status telah kawin. Sebaliknya golongan muda adalah mereka yang muda usia dan masih muda pula dalam pengalaman, dan pengetahuan di bidang adat.

Atribut yang terpenting yang membedakan lapisan tua dengan muda adalah dalam hal pakaian adat: bentuk, jenis dan cara memakainya.

Sistem gelar dalam masyarakat Bali yang juga masih berlaku sampai kini, tenitama pada desa-desa yang masih kuat mencerminkan pola tradisional, adalah gelar menurut adat tenonimi. Seperti telah diuraikan di depan, sistem gelar menurut adat teknonimi itu membedakan tingkat senioritas seseorang dalam pandangan adat.

Hak yang membedakan lapisan tua dan muda menurut jenjang senioritas tidak jelas batas-batasnya.

Disamping itu lapisan tua sering merupakan tempat bertanya tempat berkonsultasi dan berfungsi sebagai penasehat dalam masalah-masalah adat. Golongan muda adalah pada umumnya sebagai tenaga penggerak, sesuai dengan sifat dinamik golongan ini.

Kedua golongan tersebut berperan sebagai stabilisator dan dinamisator dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat.

Menurut dasar keturunan yaitu dasar kasta atau kewangsaan dibedakan atas empat lapisan:

  1. Brahmana,
  2. Ksatria.
  3. Wesya, dan
  4. Sudra.

Dalam sistem kewangsaan dari catur wangsa tersebut dikenal pula kategori atas dua bagian:

  1. Tri wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesya).
  2. Jaba wangsa (sudra wangsa).

Keanggotaan lapisan masih berdasar pada prinsip keturunan menurut garis ayah (patrilineal). Mobilitas dimungkinkan, antara lain melalui perkawinan.

Atribut yang membedakan kewangsaan masih kentara dalam segi-segi kehidupan tradisional seperti: simbul dalam upacara,

sopan santun pergaulan, rumah tempat tinggal. Dalam segi-segi ke

hidupan modern dan formal, sopan santun pergaulan kasang-kadang menjadi kabur.

Sistem gelar seperti di depan masih dipakai sebagai identitas dalam nama diri. Dalam segi-segi kehidupan modern dan formal, sistem gelar juga kadang-kadang kabur.

Hak untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, ikut dalam pemerintahan, memperoleh perlindungan hukum, tidak dibedakan antara lapisan satu dengah yang lain. Tetapi sejumlah hak dalam lapangankehidupan tradisional tertentu, juga masih jelas membedakan anatara satu lapisan dengan lapisan yang lain. Hak untuk menjadi pedanda Siwa atau pedanda boda hanyalah ditangan brahmana.

Kewajiban yang bersifat eksklusif, dimana brahmana berkewajiban di bidang agama, ksatria di bidang pemerintahan, wesya di bidang perdagangan dan sudra di bidang pertanian, pada umumnya telah banyak mengalami perobahan. Masa kini tidak ada lagi pembidangan yang bersifat tajam seperti itu.

Dalam segi-segi kehidupan tradisional, seperti segi upacara keagamaan, peranan lapisan atas dasar kewangsaan itu masih besar, tetapi tidak demikian halnya dalam segi-segi kehidupan yang bersifat modern dan formal.

3. Hubungan antar lapisan

Dalam hubungan kekerabatan dengan mengacu kepada peristiwa perkawinan, sistem pelapisan sering masih berpengaruh secara tajam. Masih terdapat kendrungan, bahwa perkawinan intrawangsa, intra golongan asli (seperti di Tenganan Pegringsingan) adalah bentuk perkawinan yang masih menjadi preferensi umum. Dengan cara seperti itu martabat wangsa dan keaslian dapat dipelihara, suatu martabat yang sering mempunyai implikasi sosial dan ekonomi.

Masa kini hubungan tetangga pada masyarakat pedesaan, dimana prinsip. gotong royong tolong menolong masih cukup kentara, pengaruh pelapisan sosial tidak begitu menonjol. Hal itu berarti bahwa dalam hal kegiatan tolong menolong antar tetangga tidak dihambat oleh adanya jenjang tinggi rendahnya kedudukan orang-orang dalam struktur lapisan tersebut.

Dalam hubungan pekerjaan, pengaruh sistem pelapisan pada masyarakat Bali masa kini, hampir tidak berarti lagi. Sudah

sejak lama terjadi perobahan, bahwa dalam hal pekerjaan itu, tidak lagi wangsa brahmana atau ksatria selalu menempati jenjang pekerjaan dengan kedudukan tertinggi, dan demikian pula sebaliknya.

Dalam bidang hubungan kemasyarakatan lainnya pun pengaruh pelapisan sosial tidak begitu tajam, Antar lapisan sering terjadi kerjasama, saling isi mengisi, tanpa dihambat oleh jenjang tinggi rendah kedudukan menurut lapisan tersebut.

4. Kecendrungan perubahan lapisan:

Tidak jauh berbeda dengan sebab-sebab perubahan pelapisan sosial masa lalu masa kini pun faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan perubahan adalah: faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor kekuasaan, faktor komunikasi, faktor modernisasi agama.

Dalam proses perubahan lapisan, faktor-faktor penyebab di atas berfungsi saling kait mengait satu sama lain. Tergantung kepada tipe struktur masyarakat, orientasi masyarakat dan lapangan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, maka proses perubahan ada yang berlangsung cepat dan ada pula yang berlangsung lambat. Dalam lapangan ekonomi misalnya, proses perubahan jauh lebih cepat dibandingkan dengan lapangan kehidupan keagamaan. Secara keseluruhan proses perubahan itu berlangsung secara rumit. Jalur yang dilalui umumnya adalah jalur formal, seperti: pemerintahan, pendidikan, lapangan pekerjaan dan lain-lain.

Hasil perubahan dalam hal pelapisan sosial resmi masa kini pada dasarnya bermakna ganda, yaitu: : melemahnya sistem pelapisan sosial resmi atas dasar keaslian; senioritas dan keturunan, makin berkembangnya sistem pelapisan atas dasar pendidikan, kepangkatan dan kekayaan, walaupun dasar-dasar ini belum terbeku kedalam adat.

Pelapisan sosial samar.

1. Dasar pelapisan :

Dalam kehidupan komunitas masyarakat Baii masa kini, dasar-dasar yang mewujudkan pelapisan sosial samar antara lain adalah: kekayaan, pendidikan dan kepangkatan.

Berkembangnya tradisi modern dalam kehidupan masyarakat

Bali masa kini mempunyai implikasi bahwa faktor kekayaan makin kentara sebagai suatu dasar dalam sistem pelapisan sosial, walaupun dasar ini belum secara mantap terbeku ke dalam adat. Seperti telah disebutkan di depan, bahwa faktor kekayaan ini juga telah merupakan dasar pelapisan sosial samar dalam sistem pelapisan sosial masyarakat Bali masa lalu, tetapi masa kini acuan dari kekayaan itu agaknya bukan lagi semata-mata kepada unsur pemilikan tanah.

Pesatnya kemajuan pendidikan, khususnya pendidikan formal menyebabkan, bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali masa kini, faktor pendidikan muncul sebagai dasar yang membedakan jenjang tinggi rendah kedudukan seseorang dalam masyarakat. Dasar ini juga belum mantap terbeku ke dalam adat, sehingga mewujudkan sistem pelapisan sosial yang masih bersifat samar.

Faktor kekuasaan sebagai dasar pelapisan sosial masyarakat Bali masa kini banyak berkaitan dengan jenjang kepangkatan formal. Seorang Camat atau Bupati misalnya, yang secara formal mempunyai kedudukan tinggi tertentu dalam struktur pemerintahan juga dianalogikan menempati kedudukan tinggi tertentu dalam kehidupan komunitasnya. Demikian juga halnya dengan jumlah kepangkatan lainnya, sehingga terwujud secara samar lapisan orang berpangkat sama dianggap berkuasa yang berbeda dengan lapisan lain yang terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki pangkat tertentu.

2. Struktur pelapisan:

Pelapisan atas dasar kekayaan, umumnya dibedakan atas dua lapisan:

  1. Lapisan kaya,
  2. Lapisan miskin.

Sesuai dengan sifat samar dari lapisan ini, maka deskripsi detail juga sulit dikemukakan. Yang cukup menonjol, bahwa golongan kaya sangat berbeda dengan golongan miskin dalam hal atribut, yang kentara antara lain dalam hal: rumah dengan perlengkapannya dan gaya hidup mereka.

Pelapisan atas dasar pendidikan dibedakan atas:

  1. Lapisan pendidikan tinggi.
  2. Lapisan pendidikan menengah.
  3. Lapisan pendidikan rendah.

Yang menonjol dari sistem pelapisan atas dasar pendidikan ini adalah dalam kehidupan komunitas, yaitu sebagai pemimpin dan sebagai mediator pembaharuan.

Sedangkan dasar kekuasaan yang ditunjang oleh kepangkatan, dibedakan atas:

  1. Lapisan berpangkat.
  2. Lapisan tak berpangkat.
Hal yang menonjol dari lapisan ini adalah perannya yang sering menjadi fokus orientasi sesuai dengan ciri orientasi vertikal yang masih sangat kentara dalam kehidupan komunitas.

3. Hubungan antara lapisan:

Hubungan antar lapisan (yang didasari oleh kekayaan, pendidikan, kekuasaan) yang menyangkut hubungan tetangga, hubungan pekerjaan dan hubungan dalam aspek keagamaan, pengaruh lapisan itu tidak begitu tajam dan antar lapisan dapat terjalin adanya hubungan yang bersifat akrab. Dalam hubungan kekerabatan, dengan mengacu kepada peristiwa-perkawinan, maka masih kentara adanya pengaruh lapisan tersebut. Ada kecendrungan, bahwa orang kaya, berpendidikan dan berpangkat ingin mengawinkan putra-putrinya, dengan keluarga-keluarga yang dikategorikan berada dalam jenjang pelapisan yang sederajat.

4. Kecendrungan perubahan lapisan:

Sebab-sebab perubahan pelapisan sosial samar masa kini berkaitan erat dengan sebab-sebab dinamika masyarakat, yaitu: faktor pendidikan, ekonomi, kekuasaan dan komunikasi. Proses perubahan cendrung memperkuat akan arti dari faktor pendidikan, kekayaan, dan kekuasaan sebagai dasar pelapisan, sehingga tendensi geraknya adalah dari dasar yang samar menjadi makin tegas.

Hasil perubahan adalah makin mantapnya arti faktor pendidikan, kekayaan dan kekuasaan, sebagai dasar pelapisan sosial. Hal ini membawa akibat lanjut, yaitu makin melemahnya dasar-dasar pelapisan menurut keturunan (ascribed) dan makin kuatnya dasar-dasar pelapisan menurut prestasi yang dapat dicapai (achieved).