Lompat ke isi

Sejarah Daerah Bengkulu/Bab 5

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

BAB V

ABAD KE-19 (1800 - 1900)

Akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 merupakan periode kemelut bagi sejarah di Eropa mulai dari revolusi Perancis dan diteruskan dengan perang Napoleon yang membakar hampir seluruh bagian di Eropa dan berakhir Kongres Wina. Kejadian besar di dunia Barat itu mempunyai pengaruh yang besar dan mengubah peta politik kekuasaan bangsa barat di tanah air kita dengan cukup drastis.

Bagi Bengkulu yang sudah sejak abad ke-17 didatangi bangsa Eropa keadaan tersebut sangat berpengaruh. Sesudah Daendels meninggalkan Indonesia, maka pada tanggal 30 Agustus 1818 Lord Minto bersama 20.000 pasukan mendarat di Batavia dan pada tanggal 18 September 1811, pasukan Inggris dapat memaksa kekuasaan Belanda di Indonesia untuk menyerah di Tuntang, Jawa Tengah. Dengan kekalahannya itu, Jawa Timur, Makasar dan Palembang jatuh ke tangan Inggris.

Lord Minto kemudian kembali ke Calcutta dan pemerintahan di Indoneia diserahkan kepada Letnan Gubernur Jenderal Stamford Rafles. Administrasi Pemerintahan di Indonesia dibagi dalam empat unit, yaitu : 1) Malaka, 2) Bengkulu (Sumatera bagian pantai Barat), 3) Jawa dan 4) Maluku. Selama Pemerintah Inggris boleh dikata tidak ada perubahan apa-apa bagi Sumatera. Pendudukan Inggris atas pulau-pulau di Indonesia memang bersifat sementara. Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814, mengatur cara-cara pengembalian koloni-koloni Belanda yang selama Perang Napoleon dikuasai Inggris. Tetapi pelaksanaannya menjadi terlambat, karena Napoleon lepas dari Elba dan mengadakan perang lagi.

Pada tahun 1816 Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles meletakkan jabatan dan pulang ke London. Ia sama sekali tidak setuju terhadap politik pemerintahannya (London) untuk mengembalikan semua jajahan kepada Belanda. Hal itu terlalu menguntungkan Belanda.

Barulah pada tanggal 19 Agustus 1816 pemerintahan Inggris di Jakarta diserahkan kepada Belanda. Letnan Gubernur Jenderal John Fendall (Inggris) menyerahkan kekuasaan kepada Komisaris Jenderal Belanda, yang terdiri dari Laksamana Buyskes, Van der Cappelen dan Elout. Tapi kelihatan sekali bahwa orang-orang Inggris tidak senang.

Pada tanggal 22 Maret 1818 Thomas Stamford Raffles kembali ke Bengkulu dan menjabat sebagai Letnan Gubernur. Ia menggantikan kedudukan Residen Inggris bernama Siddens. Rafles mempunyai keinginan untuk menguasai Selat Sunda dan Selat Malaka, dan ingin membangun kota tandingan bagi Batavia. Daerah Lampung dan Palembang perlu dikuasai atau pengaruh Inggris, harus dirasakan di sana. Di teluk Katumbayan, yang terletak di sebelah Tenggara Teluk Semangka direncanakan untuk dibangun basis armada angkatan Laut Inggris. Rencana Raffles ini tentu menimbulkan banyak kesulitan bagi Belanda. Raffles pada tahun 1818 ingin membuat hubungan antara Bengkulu, lewat Palembang terus ke Singapura, terlebih dahulu perlu diketahui situasi di Palembang pada sekitar tahun itu. Ketika pemerintah Belanda kembali di Palembang Sultan Najamuddin diturunkan, dan Sultan Badaruddin diangkat lagi. Dapat dimengerti, bahwa Najamuddin tidak suka terhadap Belanda dan tetap bersimpati terhadap Inggris.

Politik Inggris terhadap masalah kerajaan Indonesia di Sumatera, secara resmi memang tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri.

Tetapi Inggris akan selalu campur tangan membela kerajaan-kerajaan yang diganggu atau terancam kemerdekaannya dari luar (maksudnya Belanda). Hal itu memang tidak disukai dan tidak dibenarkan oleh Konvensi London 1814. Tetapi Konvensi London akan tidak berbuat apa-apa, terhadap hal-hal yang sudah terlanjur. Sebenarnya pertentangan antara Sultan Badaruddin dengan Najamuddin tetap ada. Najamuddin yang secara resmi boleh memakai titel (gelar) Sultan Muda, dalam keadaan tidak puas. Dalam keadaan demikian Rafles menggunakan kesempatan untuk menguasai Palembang. Menurut P.H. Van der Kemp, dalam bukunya "Palembang en Bangka in 1816 - 1829", Rafles pernah menerima surat keluhan dari Sultan Muda Akhmad Najamuddin Berdasarkan surat itu, maka Raffles mengirimkan ekspedisinya.

Ekspedisi Kapten Salmond itu terdiri dari 250 serdadu dipimpin olehnya sendiri dan dibantu oleh Samuel Gailing beserta Letnan Hasland (seorang bangsa Benggali). Pasukan itu berangkat dengan surat instruksi bertanggal Marlborough, 20 Juli 1818. Tugasnya ialah : Membuat perjanjian dengan Sultan (Muda) Najamuddin. Tentu saja ekspedisi Salmond dirahasiakan tetapi sungguh sial rupanya diketahui oleh pegawai Belanda di Lampung, A. Roos, yang cepat-cepat melapor pada Residen Banten.

Pada malam hari tanggal 3-4 Juli 1818 Salmond berhasil memasuki istana Sultan Najamuddin secara bersembunyi-sembunyi bersama 25 orang awak pasukan. Mereka sudah mengadakan pembicaraan dan perjanjian dengan Sultan Najamuddin. Bahkan bendera Inggris sudah dibiarkan. Pemerintah Belanda di Palembang Mr. H.W. Muntingho sudah mengetahui. Pada waktu fajar jam 5.00 tanggal 4 Juli 1818, pasukan Salmond dikepung, dipaksa menyerah dan langsung angkut ke Batavia. Missinya ternyata gagal.

Akibatnya Najamuddin menutup diri dalam kraton dan hanya ditemui Pangeran Adipati dan Ingabehi Carik. Maka di luar kraton terjadilah penangkapan terhadap orang-orang yang memihak Najamuddin, antara lain anggota-anggota panitia penjemputan Kapten Salmond. Mr. H.W. Muntingho, wakil Belanda terus marah-marah dan semua tanah Najamuddin dicabut kembali untuk diserahkan kepada Sultan Badaruddin.

Sedikit tambahan mengenai Najamuddin, selama ia menjadi Sultan Palembang, pernah diharuskan oleh Raffles untuk membuat jalan raya di daerah Bengkulu dan Lampung, dan perintah itu diberikan kepadanya, kapan saja pemerintah Inggris menginginkannya. Jadi tidak begitu jauh sikap Raffles dengan Daendels. Sebaliknya pemerintah Belanda, untuk menjatuhkannya telah membuat dalih antara lain, bahwa Sultan Najamuddin telah membiarkan adanya kekacauan dan pengejaran terhadap sementara orang di daerah Bengkulu.

Kembali mengenai ekspedisi Salmond, sebenarnya Raffles merasa optimis dan tidak menyangka akan gagal. Karena itu sesudah menanda tangani instruksi kepada Kapten Salmond dengan tenang ia pergi ke Sumatera Tengah. Raffles masih sempat menulis : "On Friday, the 24th of July (1818) we left Suruasa at seven and arrived at Pagaruyung a quarter before nine".

Pada hal 20 hari sebelumnya, Salmond sudah dikepung. Pada jaman itu komunikasi hanya melalui kurir.

Tanggal 30 Juli 1818 Raffles pulang ke Padang, lalu berlayar ke Bengkulu, Barulah ia mendengar kegagalan missi Salmond.

Sudah tetu Raffles marah dan terutama di tujukan kepada Mr. H.W. Muntingho dan ia menggugat-gugat lagi kelicikan Belanda seperti yang diperlihatkan pada peristiwa pembunuhan di Ambon pada tahun 1624.

Rencana Raffles secara keseluruhan boleh dikata gagal, karena tidak mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal Hasting di Benggala dan pemerintah di London. Satu-satunya hasil politiknya ialah berdirinya bandar Singapura pada bulan Februari 1819. Kekuasaan Inggris di pantai barat Sumatera, hanyalah terbatas pada Bengkulu. Natal dan Pancang kecil. Daerah-daerah ini pun dikuasai Belanda, sesudah ada Traktat London 1824.

Raffles yang terkenal sebagai Gubernur yang cakap dan mempunyai perhatian dan pengertian yang banyak atas beberapa bidang ilmu pengetahuan meninggalkan Bengkulu menuju Singapura dengan mempergunakan kapal Fame pada tanggal 11 April 1824. Tetapi kapal Fame terbakar pada waktu mulai berlayar meninggalkan Bengkulu, kurang lebih 25 mil selatan Bengkulu. Ada kira kira 120 peti barang-barang yang berharga yang dikumpulkan dan merupakan milik Raffles ikut terbakar dengan tenggelam bersama-sama Fame. Kabarnya di dalam kapal itu pula terdapat piring tembaga yang tertulis perjanjian antara Sulta Banten dengan Pangeran Sungai Lemau (Perjanjian 1668) perjanjian ini yang mengakui kedaulatan negeri masing-masing.

Walaupun Raffles itu arsitek dari landrente atau Pajak Tanah, yaitu penarikan pajak tanah berdasarkan sistem per kepala yang agak liberal, tetapi di Bengkulu ia tidak menjalankan Landrente. Melainkan kembali pada sistem lama yaitu Leveransi biasa melalui kepala desa. Di Jawa sendiri sistemnya itu berjalan seret atau gagal. Di Bengkulu pada jaman pemerintahan Raffles tahun 1820 sudah ada kegiatan kultural, yaitu pernah diterbitkan majalah "Malayan Miscellenies", yang antara lain menyalin naskah "Hikayat Aceh". Penyalin itu mengatakan bahwa naskah itu disalin sesuai dengan aslinya. Baik juga diketahui, bahwa naskah tertua dari "Hikayat Aceh" pernah menjadi milik seorang Pegawai VOC Belanda tahun 1695, bernama Isaak de St. Martin. Tetapi yang disalin di Bengkulu itu ialah naskah-naskah Melayu yang berada di tangan seorang Belanda lain bernama Wendly pada tahun 1736.

Mulai bulan April 1825 Belanda berkuasa di Bengkulu, berdasarkan Traktat London 1824. Pada waktu itu perdagangan lada sudah merosot. Tindakan pertama yang diambil pemerintah Hindia Belanda ialah mengumumkan tentang cara pembelian lada. Kelihatan ada sedikit kemajuan dalam perdagangan lada, tetapi pada pertengahan abad ke-19, mengalami kemerosotan lagi. Pada tahun 1833, pemerintah menggunakan peraturan Tanam Paksa bagi kopi. Tetapi hasilnya tidak memuaskan, hanya di daerah Krui sedikit lumayan. Pada waktu itu pula Asisten Residen Belanda Knoerle tewas dibunuh rakyat. Apakah motif pembunuhan itu ada hubungannya dengan politik tanam paksa, masih perlu penelitian. Tanam paksa juga dikenakan pada lada.

Selanjutnya pada tahun 1870, sistem tanam paksa untuk lada dan kopi dihapuskan dan untuk mengisi kas negara, rakyat dikenakan pajak kepala. Peraturan ini membawa keributan. Pada tanggal 2 September 1873 Asisten Residen Van Amstel dan Kontrolir Cartens dibunuh rakyat. Pada saat ini (1977) batu peringatan pembunuhan itu masih dipelihara yang terletak tidak jauh dari tempat pembunuhan yaitu di Dusun Bintuhan Kecamatan Lais Kabupaten Bengkulu Utara. Menurut cerita rakyat pembunuhan itu dilaksanakan oleh seseorang yang bernama Ratu Samban. Pembunuhan yang dilakukan oleh Ratu Samban di atas rakit penyeberangan di muara Sungai Bintuhan. Setelah pembunuhan di lakukan, Ratu Samban terjun ke alam sungai dan menghilang. Diduga ia melarikan diri ke hulu sungai dan tidak terdengar beritanya lagi.

Pemerintahan jajahan mendirikan tugu yang indah terletak di tengah kota tidak jauh dari benteng Marlborough. Tugu yang atapnya berbentuk kubah dimaksudkan memperingati pejabat-pejabatnya yang tewas baik Inggris maupun Belanda. Dapat tercatat 5 orang pembesar penjajah yang tewas dibunuh rakyat ialah :

  1. Kapten Hamilton (Inggris)
  2. Residen Parr (Inggris)
  3. Residen Knoerle (Belanda)
  4. Residen Van Amstel (Belanda)
  5. Kontrolir Cartens (Belanda)

Sampai saat ini (1977) tugu itu masih terpelihara dengan baik, karena bangsa kita memberikan pula tafsiran lain terhadap tugu itu. Dalam tahun 1964 tugu tersebut pernah dinyatakan pula sebagai "TUGU PAHLAWAN TAK DIKENAL"

Pada jaman pemerintah Hindia Belanda, mula mula (pada tahun 1838) Bengkulu merupakan Afdeling Bengkulu dan dibagi menjadi 9 onder-afdeling, yaitu : 1) Muko-muko dengan 5 distrik, 2) Lais dengan 5 distrik, 3) Bengkulu, 4) Sekitar Bengkulu, 6) Manna dengan 5 distrik, 7) Kaur dengan 7 distrik, 8) Krui dengan 13 distrik, dan 9) Ampat Lawang, termasuk Rejang Musi.

Pada tahun 1838 pemerintah Hindia Belanda belum mengadakan suatu pengamatan penelitian (opname) di Ampat Lawang dan Rejang Musi. Pada tahun 1878 Bengkulu ditingkatkan menjadi Residensi Bengkulu. Hubungan antara rakyat dengan orang-orang asing (Barat) Pemerintah sering kali tidak harmonis, bahkan menjadi buruk sebagai mana sudah disebut di depan tentangpembunuhan terhadap pejabat pemerintah Hindia Belanda. Banyak pula pasirah-pasirah di Bengkulu yang dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sistem pemerintah Hindia Belanda yang bercorak pembagian teritorial sentralisasi dengan pimpinan pegawai negeri, tentu tidak sepenuhnya corak dengan susunan adat di Bengkulu.

Karena itu pemerintah Belanda mula-mula mengangkat "Penghulu kepala" tugasnya antara lain: mengatur herendiensten, dan menjalankan tanam paksa kopi. Penghulu kepala digaji Pemerintah. Rakyat menyebutnya Penghulu Rodi atau Mandor Besar Di kebanyakan tempat rakyat menganggap Penghulu Kepala ini sebagai institut asing yang tidak disukai. Juga di Bengkulu ada sementara kepala penduduk yang diangkat menjadi pegawai Pemerintah dengan tugas yang sama dengan Penghulu Pertama tadi.

Berbeda dengan jaman Inggris, maka pada jaman Belanda pemerintah langsung menjalankan pemerintahannya hingga terasa di daerah-daerah. Hal ini ada hubungannya dengan keadaan jaman, karena abad ke-19 pemerintah penjajahan sudah merupakan negara jajahan Hindia Belanda, dan tidak lagi merupakan perusahaan dagang Kompeni seperti sebelumnya. Pada jaman ini (± 1828), sebutan patih (Depati) dihapus. dan diganti dengan gelar Pangeran, yang merupakan primus interpares dari pasirah. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang mantri dan juru tulis untuk mendampingi pangeran. Sebagai atribut, pangeran diberi kopiah bersulam benang emas, sedangkan Pasirah tongkatnya berkepala perak. Daerah Pasirah dinamakan Marga. Tiap marga diwajibkan mengatur dan membuat jalan, karena itu pada abad ke-19, di Bengkulu dikenal tiga macam pekerja kuli yaitu :
a. Kuli staat atau Herendienst, di mana pekerja-pekerja itu diharuskan membuat jalan raya, misalnya antara Bengkulu - Manna.
b. Kuli Marga, diharuskan mengerjakan jalan marga.
c. Kuli anak ayam, biasanya terdiri dari orang-orang di atas umur 45 tahun, dan hanya dikerjakan pada hal-hal yang bersifat darurat.

Sesudah dibentuk sistem onderafdeling, maka jabatan pangeran dihapus, dan hanya dikenal jabatan Pasirah. Pasirah yang cakap dapat sebutan Pangeran, tetapi tidak mempunyai dasar humum.

Susunan pejabat pemerintah daerah di Bengkulu adalah sebagai berikut : l) Kontrolir ( Belanda, dibantu oleh Demang, Klerek dan Juru tulis masing-masing seorang dan berbangsa Indonesia), 2) Pasirah, 3) Depati, 4) Depati Mangku, 5) Penggawo. Kemudian pangkat Mantri dihapus dan diganti dengan asisten Demang yang memimpin suatu onder-distrik. -

Penduduk seluruh Bengkulu pada tahun 1838 kira-kira 82.000. Pencacahan jiwa berjalan dengan susah dan lambat. Distrik-distrik di pegunungan ternyata banyak penduduknya.

Di daerah pegunungan seperti di balik bukit penduduknya bergiat dalam pertanian dan kerajinan. Cara bertani di daerah Bengkulu pada waktu itu masih berlaku cara lama yaitu : 20 atau 30 sawah sepakat untuk membuka ladang. Mereka mencari tempat di hutan yang cocok. Pada bulan Agustus dan September, banyak hutan dibakar untuk ditanam padi dan jagung. Tanahnya tidak perlu dibajak. Kalau turun hujan maka padi itu akan tumbuh. Tapi hasilnya kira-kira 1/3 dari sistem sawah. Kalau hasilnya baik dan tanah masih subur maka pada tahun berikutnya mereka berladang di tempat yang sama (± 2 tahun). Tapi kalau tanahnya sudah kurus mereka pindah kehutan lain.

Kemudian untuk memberi gambaran yang lebih nyata tentang keadaan di Bengkulu pada pertengahan abad ke-19, di bawah ini dicantumkan karya L. Van de Vince dalam tulisannya berjudul "Benkoelen zoo als is en de Benkoelen zo als ze zijn in 1843" yang merupakan pengamatan mengenai Bengkulu. Pada tahun 1843 sudah banyak yang berubah dan rusak dari Bengkulu. Sebelum tahun 1843, Bengkulu merupakan kota yang bagus, dengan jalan raya teratur, gapura-gapura yang teratur dan tembok kota dan rumah-rumah yang bagus. Tetapi pada tahun 1843, sudah banyak yang rusak dan menjadi puing-puing. Juga kebun mereka banyak yang rusak dan terbengkalai. Di Bengkulu orang Eropa dapat menyewa rumah dengan harga murah, dibandingkan dengan di kota lain.

Jumlah orang Eropa di Bengkulu cukup banyak, untuk kota sebagai Bengkulu yang letaknya terpencil. Tentu bangunan-bangunan di Bengkulu sebelum tahun 1843 banyak didirikan dengan modal Inggris. Di kota Bengkulu jalanjalannya cukup lebar dan kotanya cukup menyehatkan. Udaranya baik. Satu-satunya hal yang tidak menyenangkan untuk tinggal di Bengkulu yaitu : Komunikasi yang jarang dengan pulau Jawa. Sering kali berbulan-bulan orang tidak mendengar kabar tentang Jawa, dan bagi orang Eropa berarti tidak mendapat suplai keperluan hidup yang penting. Karena suplai itu harus didatangkan dari Jawa. Padahal jarak antara Batavia dengan Bengkulu itu tidak jauh. Bengkulu pada tahun 1843 merupakan kota yang hidup dalam isolasi.

Pada tahun 1843 di Bengkulu terdapat tiga tempat untuk berlabuh bagi kapal-kapal yang disebut riede, yaitu : 1) Yang terletak di sebelah Utara pulau Tikus, kira-kira 1½ dari pantai, 2) Yang terletak di sebelah utara lagi, kira-kira 3/4 mil dari pantai dan 3) Yang terletak ± ¼ dari pantai. Orang mengatakan pelabuhan Bengkulu penuh bahaya, karena pelabuhan dan pantainya kotor, serta banyak karang. Tetapi L.V. de Vinne mengatakan hal itu terlalu berlebihan. Ia mengatakan, kalau di Bengkulu perdagangan menjadi ramai, tentu di pelabuhannya akan terdapat banyak kapal. Hal-hal yang menghambat kemajuan

pelabuhan di Bengkulu antara lain :
  1. Belum terjamin akan mendapat keuntungan dari perdagangan.
  2. Tidak ada dinas angkutan perahu untuk memunggah, dan memuat barang-barang di kapal besar dan ;
  3. Belum adanya jiwa dagang yang dapat diandalkan di kalangan pedagang sendiri, yang menjamin tersedianya barang dan lancarnya transaksi perdagangan.

Dan sebaliknya karena jarang ada kapal yang datang pedagang-pedagang di Bengkulu mengalami kelesuan usaha. Mereka memikul resiko antara lain : Barang dagangannya akan menjadi rusak, terlalu banyak ke luar ongkos untuk gudang.

Karena itu pada tahun 1843 sudah ada suara-suara untuk memperlancar hubungan antara Batavia dengan Bengkulu melalui hubungan laut. L. Van der Vinrie juga memikirkan teritang benteng Marlborough.

Pada tahun 1843 orang masing sering melihat kerbau dan sapi lewat di dekat benteng Marlborough. Pengangkutan penduduk ialah dengan pedati yang mempunyai atap melengkung dan warna bagus. Kadang-kadang diukir dan dihias Di dekat benteng Marlborough (sebelah kanan) ada rumah sakit, dibelakangnya ada rumah penjara dan di sebelah kirinya ada rumah Panjang atau rumah bicara (Raad huis), juga disebut Rumah Bicara Panjang. Gedung itu bertingkat dua, sebelah bawah untuk kantor pegawai dan bagian atas untuk sidang para Pangeran.

Di depan Rumah Bicara terdapat taman yang luas dan indah. Di situ berdiri rumah Asisten Residen. Di Bengkulu juga ada Gereja dengan sekolah belakangnya. Di Bengkulu banyak jalan yang baik menuju pasar dan kampung, Pada tepi kota pada jalan raya, terdapat gapura dari bata. Di semua tepi jalan sampai di luar kota terdapat rumah-rumah. Kelihatan sekali pengaruh Inggris dan betapa orang Inggris telah ikut membangun Bengkulu di masa yang lalu.

Jumlah penduduk kota bengkulu pada tahun 1833 mengalami kemerosotan dari 10.000 jiwa menjadi 5.392 jiwa. Pada tahun 1843 kecuali orang Eropa penduduknya 4.616 jiwa. Diantaranya terdapat 544 orang Cina. Selebihnya adalah orang orang Melayu, Bengkulu, Kaffer (Negro), Nias, Parsi Arab yang kesemuanya sudah menjadi atau merasa sebagai orang Bengkulu. Sedangkan menurut Arthur S. Walcote pada tahun 1913 penduduk Bengkulu berjumlah 7. 700 orang. Di Bengkulu banyak orang yang menyukai adu jago dan berjudi.

Bangsa Eropa kebanyakan terdiri dari pegawai dan perwira tentara. Di kota Bengkulu sendiri berdiam Asisten Residen, Komis pertama (merangkap sebagai Notaris dari juru lelang), Juru penerima bea masuk dan bea keluar (merangkap) - Kepala Gudang dan Kepala Pelabuhan), seorang pegawai pencatatan, Klerk pertama merangkap sebagai guru. Di luar kota susunan orang Belanda ialah demikian. Di Muko-muko ditempatkan seorang Kontrolir kelas 3, di Krui seorang Gezaghebber. Di samping itu di Bengkulu masih terdapat Perwira dan beberapa pegawai rendahan. Mereka itu kebanyakan golongan Indo-Inggris.

Di Bengkulu orang Eropa itu kebanyakan hidup membujang. Hanya dua orang kawin dengan wanita Eropa. Orang Belanda merupakan kelas satu dalam masyarakat Bengkulu waktu itu.

Bangsa Cina jumlahnya 544 jiwa dan merupakan golongan kelas dua. Mereka berdagang dan kelihatan makmur. Dibandingkan dengan di tempat lain, maka golongan Cina di Bengkulu kelihatannya tidak begitu suka hidup sebagai wacker ( tukang renten, mindring). Orang Cina yang memegang urusan pajak, (pachten) dan melever barang-barang kepada pemerintah serta giat dalam perkebunan.

Bangsa Parsi dan Arab : Jumlabnya tidak banyak. Mereka berdagang. Bangsa Koffer Negro : Jumlahnya amat sedikit dan mereka kebanyakan bekerja pada orang-orang (pensiunan) Inggris yang menetap di Bengkulu.

Bangsa Benggali : Jumlahnya lebih besar dari orang Cina. Mereka itu terkenal sebagai Spahi, karena mereka itu bekas anggota pasukan Inggris yang dibawa ke Bengkulu.

Orang Nias : Jumlahnya ada 400 jiwa. Mereka itu dulu dalam status pondeling karena beberapa sebab. Kebanyakan bekerja pada orang Cina. Banyak yang sudah bebas (keluar) dan menetap di kampung Nias. Hidupnya tidak terlalu bebas.

Orang Melayu (maksudnya orang Indonesia asli atau pribumi). Jumlahnya paling banyak. Asalnya dari mana-mana. Dikatakan oleh Vinne, bahwa yang berasal dari tiga kelas dan daerah Padang adalah yang paling rajin. Mereka berusaha sebagai pedagang dan sesudah cakap berniaga dan mendapat untung mereka kembali. Hanya disayangkan, kebanyakan dari mereka mempunyai beban beberapa yang berat, karena dikelilingi oleh sanak keluarga yang tidak mampu.

Pemakaian bahasa Melayu (pada tahun 1916) sudah teratur. Karena letaknya yang terisolasi, maka kelihatan keadaan khas Bengkulu. Mengenai sifat atau kepribadian penduduk, C. Lekerkerker mengatakan, bahwa pada umumnya dalam keadaan makmur, teguh memegang pendirian , mempunyai harga diri yang besar dan kurang tertarik pada pekerjaan yang menghendaki sifat kerajinan.

Vinne kemudian mengatakan, bahwa kehidupan orang Melayu pada tahun 1843 agak makmur dan banyak pengangguran. Hal ini menimbulkan gejala negatif seperti makin besarnya permainan adu ayam dan judi. Pada jaman Inggris, tiap tahun biaya sejumlah 500.000 gulden untuk Bengkulu. Karena itu Vinne menganjurkan agar pemerintah Belanda mengadakan tindakan memperbaiki jalan, menjaga keamanan di jalanan dan melindungi pedagang.

Orang Melayu yang termasuk golongan Raja dan Radin kebanyakan mempunyai kebun-kebun lada dan sebagainya. Tetapi hasilnya tidak besar, karena kebunnya tidak terpelihara, hasilnya dijual dengan murah, hasilnya kecil karena kebun tidak luas. Golongan Raja dan Radin kebanyakan mempunyai rumah sendiri, tetapi keadaannya tidak cukup makmur. Mereka dalam hari-hari memakai pakaian cara Barat, paling tidak memakai sepatu dan kaus kaki. Perhiasan emas kadang-kadang dipakai pada hari-hari tertentu. Hal ini menunjukkan kehidupan sosial ekonomi yang berat pada jaman Hindia Belanda. Penduduk lainnya banyak yang berjualan di pasar, tetapi hidupnya tidak makmur. Orang hanya dapat memikirkan kebutuhan hari ini.

E.A. Francis (yang menulis artikel berjudul "Benkoelen in 1833" dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Jaargang 4, nomor 5) pada tahun 1883 sudah berkata, bahwa Bengkulu mengandung sumber-sumber bermanfaat yang dapat membantu kemakmuran. Tanahnya subur, sungai-sungainya dapat dipakai untuk lalu lintas penduduk (hasil bumi) dengan irigasi. Tetapi masih banyak penghambatnya.

Vinne memberi jawaban, untuk mengatasinya yaitu : 1) Keamanan yang keras, 2) pikiran sehat dan 3) Pemerintahan yang luas, teguh, tetapi bijaksana, suatu pemerintahan yang mengerti akan jika penduduk dan membantunya ke arah kemakmuran.

Pengaruh Belanda di Bengkulu belum meluas dan mendalam pada abad ke-19. Perhubungan masih sulit dan lambat. Dari Palembang ke Bengkulu pada tahun 1843 di perlukan waktu perjalanan antara 8 - 9 hari. Bandingkan dengan jaman sekarang (1977). Dengan kereta api 16 jam, dengan bis 10 jam dan dengan kapal terbang 30 menit.

Penduduk Lebong dahulu lebih banyak jumlahnya, tetapi akibat ekspedisi-ekspedisi dari Bengkulu pada jaman Raffles maka banyak pendududuk yang beremigran. Mengenai kota Bengkulu,Arthur S. Wallcott mengatakan, bahwa pada jaman Raffles kelihatan akan menjadi kota terpenting bagi kekuasaan Inggris di Timur Jauh.

Pada jaman Belanda, sekitar tahun 1825, masih ada harapan untuk menjadi kota penting , tetapi pada akhirnya harapan itu menipis, dan Bengkulu mengalami kemandekan (kemacetan). Faktor-faktor kemandekan itu adalah : 1) Banyaknya penyakit malaria karena keadaan alam di beberapa tempat tidak sehat; 2) Cepatnya lumpur yang mengendap di pelabuhan. Banyaknya gunung-gunung di sekitar kota yang sukar didaki, dan banyak tanjakan, sehingga Bengkulu menjadi terpencil. 3) Perkembangan daerah pantai yang lambat karena disana-sini banyak rawa; 4) Sulitnya hubungan dengan kota-kota lain yang merupakan pusat ekonomi, kebudayaan dan pengetahuan; 5) Sulitnya untuk menjual dan melempar hasil bumi keluar daerah. Tetapi orang tetap berusaha memajukan daerah Bengkulu.

Kota Bengkulu mempunyai nilai perjuangan. Pemerintah Belanda banyak membuang atau menawan pahlawan-pahlawan Nasional ke Bengkulu, yaitu pejuang-pejuang dari Banjarmasin dan Aceh. Demikian pula Sentot Alibasah Prawirodirdjo, seorang Panglima dalam perang Diponegoro. beliau wafat pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 47 tahun dan dimakamkan di Bengkulu. Sampai sekarang (1977) makamnya masih dirawat dengan baik.